This article examines the Elijah narrative in 1 Kings 18 in the context of the relationship between political power and religious pluralism, using a hermeneutic approach. Through textual analysis, the narrative highlights how religion can be used by those in power to maintain political hegemony, as well as Elijah's role as a prophetic agent who challenges corrupt authority. This study shows the relevance of the Elijah narrative in the contemporary multicultural world, where religious pluralism and the misuse of religion for political purposes are central issues. The conclusion shows that Elijah teaches the importance of faith integrity in facing pluralism and critiques the use of religion to legitimize power. This study provides theological and social insights that are relevant to the discourse on religion and politics in the modern era.AbstrakArtikel ini mengkaji narasi Elia di 1 Raja-Raja 18 dalam konteks relasi antara kekuasaan politik dan pluralisme agama, dengan pendekatan hermeneutik. Melalui analisis teks, narasi ini menyoroti bagaimana agama dapat dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk mempertahankan hegemoni politik, serta peran Elia sebagai agen profetik yang menantang otoritas yang korup. Penelitian ini menunjukkan relevansi narasi Elia dalam dunia kontemporer yang multikultural, di mana pluralisme agama dan penyalahgunaan agama untuk tujuan politik menjadi isu sentral. Kesimpulan menunjukkan bahwa Elia mengajarkan pentingnya integritas iman dalam menghadapi pluralisme dan kritik terhadap penggunaan agama untuk legitimasi kekuasaan. Penelitian ini memberikan wawasan teologis dan sosial yang relevan untuk diskursus tentang agama dan politik di era modern.