Aparat penegak hukum dalam menangani kasus kejahatan dunia maya selalu kesulitan dalam upaya pembuktian terlebih itu penting dan krusial. Tidak jarang dalam mendalami suatu kasus, para korban, saksi dan pelaku memilih diam hingga membuat pembuktian nantinya menjadi hal sangat penting. Penelitian ini menggunakan data sekunder, metode analisis data yang digunakan Yuridis Normatif Kualitatif, sementara metode pendekatan yang digunakan pendekatan undang-undang. Hasil penelitian menunjukkan pengaturan alat bukti dalam tindak pidana dunia maya diatur dalam bab III tentang informasi, dokumen, dan tanda tangan elektronik, serta Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik. Sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut oleh KUHP, maka jaksa dalam menyusun tuntutannya juga harus berpedoman pada isi Pasal 183 KUHAP yakni minimal ada dua alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, yang apabila telah memenuhi syarat-syarat perkara tersebut diteruskan pada proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Berkaitan dengan permasalahan yang dibahas mengenai pembuktian kejahatan dunia maya yang menggunakan sarana internet maka ketentuan hukum pembuktian yang dipakai tetap mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU ITE.