Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan sebagai negative legislature, yang berarti putusannya tidak boleh bersifat mengatur atau membuat norma baru, melainkan hanya menyatakan konstitusionalitas atau inkonstitusionalitas suatu norma. Selain itu, MK juga dilarang membuat ultra petita atau memutus perkara di luar permohonan, karena dapat dianggap sebagai intervensi terhadap kewenangan legislatif. Namun, dalam Putusan Nomor 103/PUU-XXI/2023, MK justru mengeluarkan putusan yang mengandung sifat positive legislature. Putusan ini muncul bukan sebagai bentuk intervensi terhadap legislatif, melainkan sebagai diskresi hakim yang dilandasi oleh tiga pertimbangan utama, yaitu: urgensi waktu, potensi kekosongan hukum, serta kebutuhan akan kemanfaatan, kemaslahatan, dan keadilan substantif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Putusan MK Nomor 103/PUU-XXI/2023 serta mengkaji tiga faktor utama yang melatarbelakangi munculnya putusan yang bersifat positive legislature. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan kasus, pendekatan konsep, dan pendekatan analisa. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan terhadap putusan MK, peraturan perundang-undangan, serta literatur terkait. Teknik analisis data menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan MK Nomor 103/PUU-XXI/2023 menyatakan Pasal 43L ayat (4) UU Nomor 5 Tahun 2018 inkonstitusional bersyarat sebagai upaya menghindari kekosongan hukum agar para korban tindak pidana terorisme tetap memperoleh hak atas bantuan dan kompensasi.