Penelitian ini membahas dinamika hubungan antara tasawuf dan politik dalam sejarah peradaban Islam, dengan menelusuri bagaimana praktik dan pemikiran sufistik berkembang seiring perubahan konteks sosial-politik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi pustaka, dan bertujuan untuk memahami interaksi kompleks antara spiritualitas Islam dan kekuasaan politik, serta bagaimana tasawuf tetap relevan sebagai kekuatan moral dan sosial di tengah perubahan zaman. Sejak masa awal Islam pasca Khulafa Rasyidin, muncul kecenderungan untuk menjauh dari hiruk-pikuk kekuasaan dan memilih jalan spiritual, yang ditandai dengan praktik zuhud. Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, tasawuf mengalami pembentukan ajaran secara sistematis dan kelembagaan melalui munculnya tarekat-tarekat. Para tokoh sufi seperti Hasan al-Bashri, Al-Hallaj, dan Al-Ghazali menunjukkan bagaimana tasawuf bisa menjadi kritik moral terhadap kekuasaan sekaligus berperan dalam memberikan legitimasi. Di periode pertengahan hingga modern, tarekat menjadi institusi sosial-politik penting yang berperan sebagai mediator, penggerak opini, serta kekuatan sosial yang mampu menentang ketidakadilan. Tasawuf juga berkembang dalam konteks negara-bangsa modern dan globalisasi, dengan peran yang beragam mulai dari gerakan spiritual moderat hingga aktor politik aktif. Di Indonesia, tarekat terbukti memainkan peran strategis dalam perlawanan terhadap penjajahan, pendidikan masyarakat, dan dinamika sosial-politik kontemporer.