Artikel ini menganalisis urgensi penerapan model budaya Horenso (Houkoku, Renraku, Soudan) untuk meningkatkan efektivitas kerja karyawan lokal di perusahaan multinasional. Globalisasi yang pesat menciptakan lingkungan multikultural, menimbulkan hambatan komunikasi akibat perbedaan bahasa, norma sosial, dan gaya komunikasi, yang memengaruhi produktivitas. Horenso, sebagai pilar penting budaya kerja Jepang yang mengutamakan pelaporan, informasi, dan konsultasi yang transparan, kerap menghadapi kendala implementasi di perusahaan multinasional akibat kesenjangan budaya dan minimnya adaptasi terhadap norma komunikasi lokal. Hal ini ditemukan oleh Chau et al. (2023) serta Fatimah et al. (2024). Penelitian ini mengidentifikasi bahwa pendekatan universal Horenso dapat menghambat komunikasi terbuka karyawan lokal, mengurangi efektivitas kerja. Sebagai contoh, studi survei yang dilakukan oleh Handayani et al. (2024) menunjukkan bahwa siswa analogi karyawan lokal lebih sering melaporkan masalah kepada teman dekat (58%) daripada ketua kelas (27%) atau wali kelas (15%), menggambarkan preferensi mereka terhadap lingkungan yang lebih nyaman dan informal. Tantangan komunikasi lintas budaya pada perusahaan multinasional mencakup perbedaan budaya, etnosentrisme, persepsi, dan etika, seperti yang diungkapkan oleh Fatimah et al. (2024). Tujuan artikel adalah mengidentifikasi dan menganalisis model budaya Horenso yang efektif, mampu mengintegrasikan aspek budaya lokal. Secara teoretis, ini memperkaya literatur komunikasi antarbudaya dan adaptasi model asing. Secara praktis, artikel ini menawarkan panduan konkret bagi perusahaan multinasional untuk implementasi Horenso yang lebih efektif, meningkatkan efisiensi, mengurangi kesalahpahaman, dan mendorong kinerja organisasi. Menurut Kuswara et al. (2024), integrasi komunikasi Horenso, budaya kerja Kaizen, dan manajemen pengetahuan secara signifikan meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja perusahaan.