Kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) merepresentasikan salah satu reformasi paling fundamental dalam lanskap pendidikan tinggi Indonesia, menjanjikan pembelajaran yang lebih fleksibel, otonom, dan relevan dengan dunia nyata. Salah satu pilar utamanya adalah pengakuan dan fasilitasi kegiatan mahasiswa di luar kampus, termasuk dalam domain Pengabdian kepada Masyarakat (PkM). Artikel ini menyajikan sebuah analisis kebijakan yang kritis terhadap implementasi program MBKM dan dampaknya terhadap kualitas kegiatan PkM yang dilakukan oleh mahasiswa. Dengan menggunakan metode studi dokumen dan analisis wacana kritis terhadap regulasi inti (Permendikbudristek No. 53/2023), buku panduan resmi, serta laporan implementasi, penelitian ini bertujuan untuk membedah potensi, peluang, sekaligus kelemahan struktural dari kebijakan tersebut. Hasil analisis menunjukkan adanya dualisme yang tajam: di satu sisi, MBKM membuka peluang luar biasa untuk PkM yang lebih terstruktur, berdurasi panjang, terintegrasi dengan kurikulum melalui rekognisi 20 SKS, dan berpotensi meningkatkan kompetensi mahasiswa. Namun di sisi lain, analisis kritis ini mengungkap adanya risiko-risiko signifikan, seperti kecenderungan pendekatan yang "proyek-sentris" ketimbang "pemberdayaan berkelanjutan", tantangan standardisasi asesmen yang mengabaikan konteks lokal, serta potensi komodifikasi pengabdian yang mereduksi spirit pelayanan menjadi sekadar transaksi pemenuhan SKS. Disimpulkan bahwa MBKM bukanlah formula ajaib yang secara otomatis meningkatkan kualitas PkM; ia adalah sebuah "pisau bermata dua" yang dampaknya—apakah redefinisi kualitas yang positif atau reduksi makna—sangat bergantung pada paradigma dan kesiapan implementasi di tingkat institusional perguruan tinggi.