Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

PROBLEMATIKA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN MENJADI LAHAN PERMUKIMAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA Komang Adi Widiartana; Dewa Gede Pradnya Yustiawan
Jurnal Media Akademik (JMA) Vol. 3 No. 10 (2025): JURNAL MEDIA AKADEMIK Edisi Oktober
Publisher : PT. Media Akademik Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62281/4hgn6x10

Abstract

Penelitian ini bermaksud untuk menganalisis pengaturan hukum apa saja yang beririsan dengan fenomena konversi kawasan pertanian menjadi areal permukiman yang terjadi di Bali serta mengkaji bagaimana implikasi yang timbul dari terjadinya konversi kawasan pertanian menjadi areal permukiman di Bali. Penulis merealisasikan metode hukum yuridis normatif melalui pendekatan peraturan perundang-undangan dan konseptual. Hasil yang didapat penulis berupa fenomena konversi kawasan pertanian menjadi permukiman di Bali jika dikaji hukum Indonesia, menunjukan ketegangan antara kebutuhan permukiman yang dijamin konstitusi pada Pasal 28H UUD 1945 dan pelestarian kawasan pertanian strategis sebagaimana diatur dalam UU No. 41 Tahun 2009 serta prinsip fungsi sosial hak atas tanah dalam Pasal 6 UUPA, dimana alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan dilarang kecuali untuk khalayak umum atau Proyek Strategis Nasional dengan syarat ketat  seperti kajian kelayakan, lahan pengganti, dan pembebasan hak, meskipun perluasan definisi "kepentingan umum" dalam UU Cipta Kerja berpotensi melemahkan perlindungan ini. Di Bali, fenomena ini dipicu oleh pertumbuhan penduduk, ekspansi pariwisata masif, dan kebutuhan permukiman, mengakibatkan implikasi kompleks dimana secara ekologis, penyusutan lahan hijau termasuk sawah mengurangi resapan air, meningkatkan risiko banjir, kekeringan, dan polusi sampah. Disisi lain, secara ekonomi-sosial, petani kehilangan mata pencaharian, ketahanan pangan terancam sehingga meningkatkan ketergantungan impor, serta terjadi pergeseran tenaga kerja yang memicu persaingan dengan pendatang. Secara budaya, degradasi sistem subak dan filosofi Tri Hita Karana mengikis identitas kultural Bali yang menjadi daya tarik pariwisata.