Buai merupakan tradisi masyarakat Simeulue yang hanya diwariskan secara turun-temurun khususnya bagi kaum perempuan saja. Seiring berjalannya waktu dan rendahnya pemahaman dan minimnya minat perempuan terhadap tradisi buai merupakan fenomena yang ditemui di lapangan. Hal ini di khawatirkan tergerus oleh waktu dan bahkan hilang padahal tradisi ini sarat dengan pesan-pesan kehidupan yang menjadi pedoman hidup. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis teks dan konteksnya kususnya dalam acara mallaulu pernikahan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Lokasi penelitian berada di Desa Suak Baru, Kecamatan Simeulue Tengah, Kabupaten Simeulue. Informan dalam penelitian ini berjumlah 11 orang, terdiri atas 3 pelaku Buai, 2 Tuha Gampong, 2 pemilik hajatan, 1 kepala desa, 1 tokoh adat, 1 perwakilan muda-mudi, dan 1 perwakilan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teks pelafalan buaian disajikan dengan model cengkok mendayu dayu mengikuti irama dan panjang pendek syair buai. Estetika khas ini muncul karena dibawakan oleh perempuan yang merasakan langsung melahirkan, dan membesarkan anak. Adapun dalam konteks pertunjukan buai dilaksanakan melalui tiga tahapan, yaitu tahap persiapan yang terdiri dari duduk pakat, pemanggilan pelaku buai, dan manuruy laulu. Selanjutnya pementasan, yaitu pada saat pertunjukan buai disajikan, terahir pasca-pementasan, yaitu evaluasi atau bersih-bersih yang dilakukan oleh pihak keluarga yang mengadakan hajatan. Penelitian ini merekomendasikan agar pemerintah, tokoh masyarakat, serta seluruh elemen masyarakat desa berperan aktif dalam Upaya pengembangan dan pelestarian tradisi buai, mengingat semakin berkurangnya generasi yang memahami dan menguasai tradisi tersebut. Langkah ini diperlukan agar keberlangsunan tradisi buai tetap terjaga di tengah perubahan zaman.