Setiap organisasi kerap menghadapi dinamika yang mengancam eksistensi, salah satu dinamika tersebut yakni situasi krisis. Situasi krisis dapat menimbulkan ancaman bagi keberlangsungan organisasi, menurunnya legitimasi dan kepercayaan terhadap pemimpin dalam mengatasi situasi tersebut. Diperlukan kepemimpinan yang mampu mengelola situasi krisis agar organisasi tetap solid, adaptif sehingga mampu keluar dari situasi tersebut. Diperlukan kepemimpinan dalam situasi krisis yang tidak hanya mengandalkan kecerdasan intelektual semata, melainkan juga kecerdasan emosional untuk mengelola dinamika psikologis dan sosial yang terjadi. Hal ini tampak dalam kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab saat menghadapi krisis besar, yaitu kelaparan pada Tahun Ar-Ramadah atau Tahun Abu. Artikel ini mengkaji penerapan Emotional Quotient Leadership Umar bin Khattab dengan menelaah pada dimensi kesadaran diri, regulasi emosi, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. Metode yang digunakan adalah studi kualitatif pustaka. Hasil temuan menunjukkan bahwa Umar bin Khattab konsisten menampilkan kecerdasan emosional dalam situasi krisis dengan menjaga kesederhanaan hidup, mengendalikan emosi di tengah kepanikan, menumbuhkan motivasi spiritual, hadir dengan penuh empati bersama rakyat, dan membangun jejaring sosial untuk memperluas solusi. Implikasi dari kajian ini menegaskan bahwa pemimpin perlu menempatkan kecerdasan emosional sebagai fondasi kepemimpinan, sehingga mampu menjaga stabilitas, memperkuat solidaritas, dan memastikan keberlangsungan organisasi khususnya pada organisasi dakwah dalam menghadapi situasi krisis.