Pelanggaran hak asasi manusia dan pertentangan terhadap martabat manusia menjadi ciri khas perdagangan manusia. Praktik ini telah berkembang menjadi jaringan kriminal, beberapa di antaranya terorganisasi dengan baik dan yang lainnya lebih tidak terorganisir; jaringan ini beroperasi baik di dalam maupun luar negeri, membahayakan negara dan warga negaranya serta bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Menurut penelitian dan laporan di media, perdagangan manusia merupakan masalah besar, terutama ketika berdampak pada anak-anak dan perempuan. Tragisnya, prostitusi, pornografi, pengemisan, dan perbudakan dalam rumah tangga merupakan hasil yang sering terjadi dari perdagangan perempuan dan anak di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengambil sikap hak asasi manusia terhadap perdagangan manusia dan melihat undang-undang yang melindungi korban, variabel yang menyebabkan eksploitasi populasi rentan seperti anak-anak dan perempuan, dan kesulitan dalam menangani masalah ini. Penelitian ini mengambil perspektif hukum terhadap fenomena sosial, menggambarkannya sebagai masalah sehari-hari, dengan menggunakan metodologi hukum normatif. Berdasarkan hasil penelitian, tujuan UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang bertujuan untuk melindungi mereka yang telah menjadi korban perdagangan manusia sekaligus berupaya untuk mengakhiri praktik tersebut sepenuhnya. Sebagai salah satu unsur keamanan masyarakat dan penegakan hukum, kebijakan pidana harus diintegrasikan dalam setiap upaya pencegahan perdagangan orang. Kemiskinan, buta huruf, kurangnya pengetahuan, dan kondisi sosial budaya yang tidak diinginkan merupakan penyebab utama perdagangan orang. Kurangnya kerja sama lintas sektor dalam menangani tindak pidana perdagangan orang dan kurangnya pemahaman umum tentang UU No 21 Tahun 2007 merupakan dua hambatan dalam penyelesaian kasus-kasus ini.