Articles
PENINDAKAN TERHADAP MASYARAKAT YANG TIDAK MENGGUNAKAN MASKER SEBAGAI PELAKSANAAN PROTOKOL KESEHATAN BARU DI PROVINSI BALI
Brahmana, Ida Bagus;
Yudistira Darmadi, A A Ngurah Oka
Kertha Desa Vol 8 No 8 (2020)
Publisher : Kertha Desa
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penindakan terhadap masyarakat yang tidak menggunakan masker sesuai peraturan gubernur dan untuk mengetahui status pidana terhadap masyarakat yang terkena denda administrative termasuk tindak pidana sesuai pasal perihal penerapan disiplin terhadap protokol kesehatan dalam tatanan kehidupan era b Baru. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian ini menjelaskan b bahwa b bahwa penindakan terhadap masyarakat yang tidak menggunakan masker sesuai peraturan gubernur nomor 46 tahun 2020 tentang penerapan disiplin terhadap protokol kesehatan sudah dilaksanakan pada awal september hingga Oktober 2020. Selain pihak kepolisian dan satpol PP, penindakan juga dilakukan bersama para Pecalang dan satgas COVID-19 diseluruh desa adat di Bali. Status pidana terhadap masyarakat yang terkena denda administrative termasuk tindak pidana sesuai pasal Peraturan Gubernur Nomor 46 tahun 2020 adalah tidak termasuk status pidana, karena denda tersebut merupakan sanksi administrative seperti denda tilang pada kendaraan b bermotor yang telat dalam melaksanakan pembayaran pajak kendaaraan b bermotor. Kata Kunci : Covid-19, Pergub Bali, Denda ABSTRACT The purpose of this study is to determine the action against people who do not use masks according to governor regulations and to find out the criminal status of people who are subject to administrative fines including criminal acts in accordance with the article regarding the application of discipline to health protocols in the order of life new era. This research method uses normative legal research methods. The results of this study explain that action against people who do not use masks according to governor regulation number 46 of 2020 concerning the application of discipline to health protocols was carried out from early September to October 2020. In addition to the police and Satpol PP, prosecution was also carried out with Pecalang and the task force. COVID-19 in all traditional villages in Bali. The criminal status against people who are subject to administrative fines including criminal acts in accordance with the article of Governor Regulation Number 46 of 2020 is not a criminal status, because these fines are administrative sanctions such as fines on motorized vehicles who are late in paying motor vehicle tax. Keywords: Covid-19, Pergub Bali, Fines
Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Terkait Anak Sebagai Korban Tindakan Perundungan Yang Dilakukan Pada Sosial Media
Saputra, Agus Dwi;
Darmadi, Anak Agung Ngurah Oka Yudistira
Kertha Desa Vol 8 No 6 (2020)
Publisher : Kertha Desa
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Perundungan merupakan sebuah perbuatan atau prilaku yang memiliki karakteristik merugikan bagi orang lain dapat berupa tindakan kekerasan secara fisik atau secara verbal. Perundungan melalui media online tidak diatur subtansinya melalui ketentuan pada KUHP dan Undag-Undang ITE, sehingga menimbulkan kekosongan norma hukum. Penulisan ini merumuskan permasalahan mengenai kebijakan kriminal hukum pidana mengenai tindakan perundungan melalui sosial media dan bagaimana kebijakan kriminal terkait dengan perlindungan dan penanggulaangan kepada anak sebagai korban tindakan perundungan yang dilakukan melalui sosial media. Hasil penulisan menjelaskan beberapa hal, yaitu kebijakan kriminal hukum pidana pada tindakan perundungan melalu sosial media menguraikan unsur tindak pidana yang dapat dipenuhi pada Undang-Undang ITE dan KUHP. Anak sebagai korban tindakan perundungan dilindungi melalui pengaturan pada pasal yang terdapat dalam Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Perlindungan Anak sebagai bagian dari kebijakan kriminal hokum pidana. Kata Kunci: Perundungan, Media Sosial, Kebijakan Kriminal ABSTRACT Harassment is an act or behavior that has a detrimental characteristic to others which can be physical or verbal violence. Submission through online media is not regulated through the provisions of the Criminal Code and ITE Law, resulting in the absence of legal norms. This writing formulates the problems regarding criminal law criminal law regarding acts of harassment through social media and how criminal policy is related to the protection and handling of children as victims of abuse done through social media with normative legal writing method. The results of this paper explain criminal law criminal policy on acts of harassment through social media outline elements of criminal acts that can be fulfilled in the ITE Law and the Criminal Code. Children as victims of harassment are protected through the provisions of the articles contained in the ITE Law and the Child Protection Act as part of the criminal law criminal policy. Keywords: Bullying, Social Media, Criminal Policy
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAJAR PENYALAHGUNA NARKOTIKA DI WILAYAH POLRESTA DENPASAR
Astiti, Ni Made Yordha Ayu;
Yudistira Darmadi, A.A. Ngurah Oka
Kertha Desa Vol 9 No 9 (2021)
Publisher : Kertha Desa
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini mempunyai tujuan guna melakukan pengkajian dan menganalisis mengenai faktor penyebab pelajar melakukan penyalahgunaan narkotika dan juga menganalisis terkait dengan kebijakan hukum pidana yang dilakukan oleh Kepolisian dalam hal melakukan pencegahan dan penjatuhan sanksi pidana bagi pelajar penyalahguna narkotika di wilayah Polresta Denpasar. Penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris yang memadukan data dari Polresta Denpasar yang berupa hasil observasi dan wawancara secara langsung kepada Wakasat Reserse Narkoba Polresta Denpasar dengan Undang-Undang terkait penyalahgunaan narkotika terhadap pelajar serta beberapa literatur. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat beberapa faktor pelajar melakukan penyalahgunaan narkotika di wilayah hukum Polresta Denpasar dan juga kebijakan hukum pidana yang dilakukan oleh Kepolisian wilayah Polresta Denpasar terhadap pelajar yang melakukan Penyalahgunaan narkotika dijerat dengan ketentuan pasal sebagaimana dalam UU Narkotika. Namun, untuk penjatuhan sanksi pidana yang sesuai kembali lagi pada keputusan hakim di pengadilan. Aparat yang meneggakkan hukum dalam proses dan putusannya harus yakin bahwa keputusannya yang telah diambil menjadi landasan yang kokoh bagi anak. Sehingga, dapat memulihkan dan mengontrol anak untuk menjalani masa depan cerahnya, serta dapat mengembangkan anak sebagai warga yang dapat bertanggungjawab dalam kehidupan bangsanya. Kata Kunci: Kebijakan Hukum Pidana, Penyalahguna Narkotika, Tindak Pidana Narkotika, Pelajar.
GAGASAN MODEL PLEA BARGAINING DI INDONESIA DALAM UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
Megi Megayani, Ni Ketut Ngetis;
Oka Yudistira Darmadi, Anak Agung Ngurah
Kertha Desa Vol 9 No 12 (2021)
Publisher : Kertha Desa
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penulisan penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mengenai gagasan plea bargaining yang umumnya dianut dan digunakan di negara hukum common law system untuk bisa dilaksanakan di Indonesia, negara dengan sistem hukum dominan civil law system dengan tujuan memaksimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara oleh maraknya korupsi di Indonesia. Penulisan ini memakai metode penelitian normatif juga beberapa pendekatan yakni pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Kesimpulan daripada penulisan penelitian ini ialah bahwa gagasan plea bargaining ini perlu dipertimbangkan untuk diimplementasikan guna mengembalikan kerugian keuangan negara semaksimal mungkin hasil tindak pidana korupsi di Indonesia yang detik ini masih sangat minim juga sulit dilakukan karena adanya kekaburan norma Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bukan sebagai pidana pokok sehingga terjadi keraguan-raguan oleh para penegak hukum untuk melakukan perampasan aset terhadap pelaku korupsi yang berakibat pada rendahnya pengembalian kerugian keuangan negara akibat korupsi. Sehingga terhadap Pasal 18 ini perlu ditetapkan sebagai pidana pokok untuk mengatasi kekaburan norma tersebut. Penerapan konsep plea bargaining di Indonesia juga dimungkinkan karena Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), yang mengatur bahwa negara yang telah menandatangani konvensi berkewajiban melakukan pertimbangan pengurangan hukuman bagi terdakwa yang telah bekerjasama dalam penyidikan atau penuntutan kejahatan korupsi (Pasal 37 ayat (2)). Kata Kunci: Plea Bargaining, Common Law system, Kerugian Keuangan Negara ABSTRACT The writing of this study aims to research the idea of plea bargaining that’s generally used in the common law system country's to be implemented in Indonesia, a country with civil law system to aim of maximizing the return of state financial losses because of much corruption cases in Indonesia. This writing uses normative research methods with several approaches, which is the statute approach and conceptual approach. The conclusion is plea bargaining needs to be considered to be implemented in order to restore the country's financial losses as much as possible as a result of corruption crimes in Indonesia which is still very minimal, also difficult to do because of the blurring norm, Article 18 of Law No. 31 of 1999 jo. Law No. 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption Crimes that are not as the main criminal so there are doubts by law enforcement to take assets against corrupt actors which results in low return of state financial losses due to corruption. So Article 18 this needs to be established as the main criminal to overcome the blurring of the norm. The application of the concept of plea bargaining in Indonesia is also possible because Indonesia has ratified the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), which stipulates that countries that have signed the convention are obliged to consider reducing penalties for defendants who have cooperated in the investigation or prosecution of corruption crimes (Article 37 paragraph (2). Key Words: Plea Bargaining, Common Law system, State Financial Losses
KEDUDUKAN HUKUM PERDAGANGAN PENGARUH DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
Widhi, Luh Putu Purnama Ning;
Darmadi, A.A. Ngurah Oka Yudistira
Kertha Desa Vol 9 No 12 (2021)
Publisher : Kertha Desa
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penulisian jurnal ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan perdagangan pengaruh yang menjembatani tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia dan urgensi pengaturan perdagangan pengaruh sebagai tindak pidana korupsi di masa mendatang. Menggunakan penelitian hukum normatif diakibatkan adanya suatu kekosongan norma. Kemudian menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis akan mempergunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Yaitu dengan cara membaca, menelaah, dan mengklarifikasikan bahan hukum seperti ketentuan peraturan perundang-undangan, mengutip pembahasan literatur-literatur dan karya ilmiah para sarjana yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Terdapat kekosongan norma pada UU Tindak pidana korupsi terkait pengaturan perdagangan pengaruh (trading influence) yang menyebabkan aparat penegak hukum kesulitan menjerat pelaku perdagangan pengaruh guna menjembatani suatu tindak pidana korupsi. Sangat perlu untuk mengkriminalisasi para pelaku perdagangan pengaruh dalam tindak pidana korupsi, karena pada kenyataannya sebagian besar tindakan perdagangan pengaruh dilakukan oleh non-penyelenggara negara tetapi memiliki pengaruh yang signifikan pada pemerintah. Kata Kunci: Tindak Pidana, Korupsi, Perdagangan Pengaruh. ABSTRACT This scientific journal writing aims to determine the regulation of influence trading that bridges the criminal act of corruption in Indonesian positive law and the urgency of regulating influence trading as a criminal act of corruption in the future. Using normative legal research results in a vacuum in norms. Then use a statutory approach and a conceptual approach. In writing this scientific paper the writer will use primary legal materials, secondary legal materials. Namely by reading, studying, and clarifying legal materials such as the provisions of laws and regulations, citing a discussion of the literature and scientific works of scholars related to the issues raised. The results show that there is a norm vacuum in the Corruption Act related to trading influence regulation which causes law enforcement officials to find it difficult to entrap influence trading actors to bridge a criminal act of corruption. Criminalization of influence trading actors is very necessary in order to ensnare actors in criminal acts of corruption that do not originate from state officials, because in reality, influence trading is mostly carried out by political figures who are not state administrators but have great influence on government officials. Keywords: Crime, Corruption, Influence Trading.
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PERUSAHAAN INDUK ATAS TINDAK PIDANA KORUPSI PERUSAHAAN ANAK
Mayun Dharma Wijaya, Anak Agung Ngurah;
Yudistira Darmadi, A.A Ngurah Oka
Kertha Desa Vol 10 No 1 (2021)
Publisher : Kertha Desa
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Studi ini memiliki tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan antara perusahaan induk dan anak perusahaan, serta pertanggungjawbaan perusahaan induk terhadap tindak pidana korupsi perusahaan anak. Metode yang penulis digunakan adalah metode hukum normatif dengan didasarkan pada data sekunder. Penelitian ini menunjukan walaupun perusahaan induk dan perusahaan anak merupakan subyek hukum mandiri, tidak menyebabkan perusahaan induk bebas dari pertanggungjawabannya. Perbuatan perusahaan anak yang dilakukan atas instruksi perusahaan induk dapat dikatakan sebagai perbuatan perusahaan induk ketika dilakukan dalam lingkup kerja perusahaan. Hal tersebut merujuk kepada ketentuan pasal 6 PERMA 13/2016. Kata kunci: Perusahaan Induk, Perusahaan Anak, Korupsi ABSTRACT This study had a purpose to find out how the parent company responsible for the criminal acts of corruption in subsidiary companies. The method that the author uses is a normative legal method based on secondary data. This study shows that although the parent company and subsidiary company are independent legal subjects, it does not mean that the parent company cannot be held responsible. The actions of the subsidiary company carried out on the instructions of the parent company can be said to be the actions of the parent company when carried out within the scope of work of the company. This refers to the provisions of Article 6 PERMA 13/2016. Keywords: Parent Company, Subsidiary Company, Corruption
PENGATURAN PIDANA DENDA TERHADAP KORPORASI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI
Gede Made Dananda Paramartha Susila;
Anak Agung Ngurah Oka Yudistira Darmadi
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 2 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24843/KW.2022.v11.i02.15
Studi ini bertujuan untuk mengetahui kompleksitas problematika pengaturan pidana denda bagi korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi serta memformulasikan pengaturan pidana denda terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi pada masa yang akan datang. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif melalui pendekatan konseptual serta pendekatan peraturan perundang-undangan. Bahwa hasil studi menunjukkan pengaturan pidana denda terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi belum mengakomodir mekanisme alternatif apabila harta benda korporasi yang telah disita dan dilelang untuk pembayaran pidana denda ternyata tidak setara atau tidak mencukupi daripada nilai pidana denda yang telah ditetapkan. Adapaun tindakan yang dapat dilakukan guna mengatasi problematika tersebut dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara. Pertama, dengan mengadopsi sistem sita aset berbasis nilai yang memungkinkan penentuan nilai hasil dan alat-alat kejahatan, dan kemudian melakukan penyitaan atau perampasan aset yang bernilai setara. Dengan demikian terdapat ruang untuk merampas harta benda kekayaan milik korporasi asalkan harta kekayaan tersebut bernilai sama dengan nilai denda yang harus dibayarkan oleh korporasi, sehingga negara tetap dapat memperoleh nilai denda sebagaimana yang telah ditetapkan kepada korporasi. Kedua, dengan menerapkan teori pertanggungjawaban pengganti, dimana teori tersebut memungkinkan untuk membebankan suatu pertanggungjawaban korporasi kepada kepada pengurus korporasi, termasuk pula terhadap pidana denda. Kata Kunci: Pidana Denda, Korporasi, Sita Aset Berbasis Nilai. ABSTRACT This study aims to find out the complexity of the problem of criminal regulation of fines against corporations as perpetrators of corruption crimes and conceptualize the criminal arrangement of fines against corporations as perpetrators of corruption crimes in the future. The study applies normative legal research methods with a statutory and conceptual approach. The results of the study showed that the criminal arrangement of fines against corporations as perpetrators of corruption crimes has not accommodated alternative mechanisms if the property that has been auctioned for the payment of criminal fines turns out to be unequal or insufficient than the criminal value of the fine that has been set. There are many actions that can be done to overcome the problem can be done through 2 (two) ways. First, by adopting a value-based asset Confiscation system that allows the determination of the value of proceeds and tools of crime, and then confiscation or seizure of assets of equal value. Thus there is room to seize the property of the property of the corporation as long as the property is equal to the value of the fine to be paid by the corporation, so that state can still get the value of the fine as stipulated to the corporation. Second, by applying the vicarious liabillity theory, where the theory makes it possible to impose a corporate liability to the corporate board, including against criminal fines. Key Words: Criminal Fine, Corporation, Value-Based Confiscation System
MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA PADA TINDAK PIDANA BODY SHAMING
Ni Putu Melinia Ary Briliantari;
A.A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 8 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Body shaming atau penghinaan terhadap citra tubuh merupakan bentuk penghinaan yang apabila dilakukan dalam jangka waktu panjang akan menimbulkan mental illness. Terdapat dua jenis Body shaming, yaitu secara langsung diatur dalam Pasal 315 KUHP dan tidak langsung yang diatur pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Terjadinya penumpukan kasus body shaming yang ditempuh melalui jalur penal menyebabkan adanya pertentangan dari tiga asas peradilan yaitu cepat, sederhana, dan biaya ringan sehingga memerlukan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme penegakkan hukum pada perkara tindak pidana body shaming, dan menelaah dan menformulasikan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana penghinaan terhadap citra tubuh (body shaming) dapat ditempuh melalui mediasi penal. Metode yang digunakan dalam penulisan jurnal ilmiah ini adalah metode penilitian hukum yuridis normatif melalui pendekatan perundang-undangan untuk menjawab permasalahan. Penegakkan hukum body shaming mengacu kepada KUHAP sesuai dengan penegakkan hukum pidana pada umumnya, dan mediasi penal sebagai bentuk restorative justice dapat diterapkan berlandaskan Surat Edaran Kapolri No. SE / 8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dan sistem Criminal Court Disputes Resolutions. Kta kunci: Body shaming, Mediasi Penal, Restorative justice
Proses Pelaksanaan Diversi Bagi Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Di Kepolisian Daerah Sulawesi Utara
Leony Ghuusbertha Marpaung;
A.A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 4 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24843/KW.2021.v10.i04.p01
Tujuan dari studi ini untuk memberikan pemahaman mengenai proses pelaksanaan diversi secara langsung dilapangan (kepolisian daerah sulawesi utara) serta mengkaji apa saja yang menjadi hambatan dalam proses pelaksaan diversi. Studi ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris metode ini mengkaji ketentuan hukum yang ada dan juga mencari data berupa keterangan dalam bentuk data maupun informasi mengenai masalah yang akan diteliti untuk membuktikan fakta di lapangan, mengenai pengumpulan data penulis melakukan wawancara secara langsung kepada Kanit PPA Reskrim di Kepolisian Sulawesi Utara dengan tujuan mendapatkan informasi terperinci terhadap apa yang diteliti. Hasil studi menunjukkan bahwa pelaksanaan diversi pada umumnya dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang sistem peradilan Anak yang dalam proses pemeriksaan penyidik wajib mengupayakan adanya diversi seperti yang termaktub dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang tentang Sitem Peradilan Anak dan terdapat sanksi yang mengatur apabila penyidik tidak mengupayakan adanya upaya diversi maka penyidik akan dikenakan sanksi seperti yang termaktub dalam Pasal 96 Undang-Undang tersebut yang diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Kemudian dalam proses pelaksaannnya masih terdapat beberapa hal yang menjadi penghambat dalam proses upaya diversi ini yaitu seperti sulitnya penyidik untuk mempertemukan kedua belah pihak baik pelaku yang mengakibatkan kerugian maupun korban yang yang dirugikan serta mengenai tempat penahanan dimana kepolisian daerah sulawesi utara belum memiliki rumah tahanan bagi anak sehingga menyulitkan penyidik dalam proses pemeriksaan. Kata Kunci: Anak, Diversi ,Kepolisian ABSTRACT The purpose of this study is to provide an understanding of the process of implementing diversion directly in the field (North Sulawesi Regional Police) and to examine what are the obstacles in the process of implementing diversion. This study uses a juridical empirical research method. This method examines existing legal provisions and also looks for primary data in the form of information in the form of data and information about the problem to be studied to prove facts in the field, regarding data collection the author conducts interviews directly with the Head of PPA Reskrim at North Sulawesi Police with the aim of obtaining detailed information on what was being investigated. The results of the study show that the implementation of diversion is generally carried out in accordance with Law No.11 of 2012 concerning the Juvenile Justice system, which in the process of examining investigators is obliged to seek diversion as contained in Article 29 paragraph (1) of the Law on Juvenile Justice Systems and There is a sanction which regulates that if the investigator does not attempt diversion, the investigator will be subject to sanctions as stipulated in Article 96 of the Law, which is punishable by imprisonment of up to 2 (two) years or a maximum fine of Rp.200,000,000.00 (two hundred. million rupiah). Then in the implementation process there are still several things that are obstacles in the process of this diversion attempt, such as the difficulty of the investigator to bring together the two parties, both the perpetrator who caused the loss and the victim who was harmed and regarding the place of detention where the North Sulawesi police do not yet have a detention center for children. thus making it difficult for investigators in the examination process. Keywords: Child, Diversion,Police
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN YANG MENJADI KORBAN MALPRAKTIK PENGOBATAN TRADISIONAL
Anak Agung Ngurah Bagus Agung Wira Nantha;
A. A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24843/KW.2021.v11.i01.p08
Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah guna menganalisis tentang pengaturan Hukum Positif di Indonesia berkaitan dengan praktek pengobatan tradisional serta pertatanggungjawaban hukum penyelenggara praktek pengobatan tradisional, apabila melakukan malapraktik terhadap pasiennya dengan peningkatan biaya kesehatan setiap tahunnya membuat masyarakat mencari alternatif lain yaitu salah satunya dengan menggunakan pengobatan tradisional, yang diharapkan mampu mengobati dengan biaya yang terjangkau. Namun pada kenyataannya, praktek pengobatan tradisional ini tidak selamanya berjalan dengan sebagaimana mestinya akibat pelaku malpraktik pengobatan tradisional. Penulisan ini mengaplikasikan dua unsur masalah, yaitu tentangpengaturan Hukum Positif di Indonesia berkaitan dengan praktek pengobatan tradisional serta pertatanggungjawaban hukum penyelenggara praktik pengobatan tradisional, apabila melakukan malapraktik terhadap pasiennya. Adapun metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu praktek pengobatan tradisional memiliki dasar hukum yang jelas dan pasien juga mendapat perlindungan hukum yang jelas namun lemah dalam pembuktian administrasi. The purpose of writing this study is to analyze the positive legal arrangements in Indonesia relating to traditional medicine practices and the legal accountability of traditional medicine practitioners, when doing malpractice against patients with increasing health costs every year makes people look for other alternatives, one of which is using traditional medicine. Which is expected to be able to treat at an affordable cost. But in reality, the practice of traditional medicine does not always run as it should due to the perpetrators of malpractice of traditional medicine. This writing applies two elements of the problem, in which the regulation of Positive Law in Indonesia relates to the practice of traditional medicine and the legal accountability of the organizers of traditional medicine practices, when doing malpractice against their patients. Theresearch methodused isnormative juridical. The conclusion of thisstudy is thatthe practice of traditional medicine has a clear legal basis and patients also receive clear legal protection but are weak in administrative evidence.