Penelitian ini menganalisis ambiguitas yuridis status "mitra" bagi pekerja gig economy (ojek online dan freelancer digital) di Indonesia dan implikasinya terhadap perlindungan sosial serta status perpajakan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (kualitatif) dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Fokus analisis adalah pada konflik norma (conflict of norms) dan kekosongan hukum (legal vacuum) yang timbul dari persinggungan antara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang kemitraan, Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13/2003 jo. UU No. 6/2023), Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU No. 40/2004), dan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU No. 36/2008 jo. PP No. 55/2022). Hasil analisis menunjukkan bahwa: (1) Status "mitra" de jure didasarkan pada kebebasan berkontrak (KUHPerdata), namun de facto mengandung unsur subordinasi (UU Ketenagakerjaan), menciptakan konflik norma. (2) Konflik ini secara langsung menciptakan kekosongan hukum dalam UU SJSN, yang hanya mengenal skema "Penerima Upah" (PU) yang bersifat wajib dan "Bukan Penerima Upah" (BPU) yang bersifat sukarela, sehingga pekerja rentan terlempar ke skema BPU yang tidak protektif. (3) Dalam hukum pajak, status "mitra" (wirausaha) mendorong penerapan skema self-assessment (PPh Final 0,5%) yang secara administratif tidak efektif, alih-alih skema withholding tax (PPh 21) yang lebih kuat. Penelitian ini merekomendasikan intervensi legislatif untuk menciptakan kategori hukum baru ("Pekerja Mandiri Tergantung") dan intervensi eksekutif untuk menunjuk platform sebagai pemotong pajak dan fasilitator iuran BPJS