Background: The quality of sleep is a crucial determinant of patients’ life quality. Those with airborne diseases are treated in isolation rooms where environmental factors significantly impact their sleep quality. Disturbances in sleep can lead to complaints about the non-conducive environment, thus affecting the rest and recovery of patients.Objective: To assess the sleep quality of patients with airborne diseases in isolation rooms.Methods: This cross-sectional descriptive study sampled 78 patients in airborne isolation rooms of a hospital in Yogyakarta from November 2023 to January 2024. Inclusion criteria included patients which older than 19 years old, conscious, and able to communicate, with a hospital stay of 2-6 days. Exclusion criteria were unstable general conditions, use of sleep medications, and mental disorders. Sleep quality was assessed using the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) and data were analyzed using the Mann-Whitney and Kruskal-Wallis tests.Results: Most of patients (79,5%) reported poor sleep quality. Poor sleep was most prevalent among those aged 46-65 years (55,1%), males (43,6%), patients diagnosed with tuberculosis (50%), and those with metabolic endocrine disorders (20,5%). Pain (23,1%) and shortness of breath (21,8%) were most common complaints. The PSQI dimensions showed that most patients struggled with sleep duration. Gender was the only significant factor affecting sleep quality (p-value 0,021), with males experiencing poorer sleep quality.Conclusion: In a Yogyakarta hospital, 79,5% of patients with airborne diseases in isolation rooms have poor sleep quality. This study provides baseline data for developing strategies to address sleep disturbances in isolation settings.INTISARI Latar Belakang: Kualitas tidur merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas hidup pasien. Pasien dengan penyakit airborne dirawat di ruang isolasi dan faktor lingkungan berperan signifikan terhadap kualitas tidur pasien. Gangguan tidur dapat menyebabkan keluhan tentang lingkungan yang tidak kondusif, memengaruhi istirahat dan pemulihan pasien.Tujuan: Untuk menilai kualitas tidur pasien dengan penyakit airborne yang dirawat di ruang isolasi.Metode: Penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectional ini melibatkan 78 pasien di ruang isolasi airborne pada sebuah rumah sakit di Yogyakarta, dengan rentang waktu dari November 2023 hingga Januari 2024. Kriteria inklusi adalah pasien berusia lebih dari 19 tahun yang komposmentis dan dapat berkomunikasi, dengan masa rawat 2-6 hari. Kriteria eksklusi termasuk kondisi umum yang tidak stabil, penggunaan obat tidur, dan gangguan jiwa. Kualitas tidur diukur menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) dan data dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney dan Kruskal-Wallis.Hasil: Mayoritas pasien (79,5%) melaporkan kualitas tidur yang buruk. Kualitas tidur buruk lebih sering terjadi pada usia 46-65 tahun (55,1%), laki-laki (43,6%), pasien dengan diagnosis tuberkulosis (50%), dan mereka yang memiliki gangguan metabolik endokrin (20,5%). Keluhan nyeri (23,1%) dan ketidaknyamanan bernapas/sesak napas (21,8%) adalah keluhan yang paling umum. Menurut PSQI, mayoritas pasien mengalami masalah pada dimensi durasi tidur. Jenis kelamin adalah faktor signifikan yang memengaruhi kualitas tidur (p-value 0,021), dengan jenis kelamin laki-laki mengalami kualitas tidur yang lebih buruk.Simpulan: Mayoritas pasien penyakit airborne di ruang isolasi sebuah rumah sakit di Yogyakarta memiliki kualitas tidur yang buruk. Studi dapat dijadikan data dasar untuk mengembangkan strategi penanganan gangguan tidur di ruang isolasi.