Kualitas udara terus menjadi perhatian penting bagi lingkungan dan kesehatan manusia dalam skala global, terutama di negara-negara berkembang. Pada tahun 2015, Indonesia menarik perhatian dunia akibat kebakaran hutan dan lahan gambut yang luas. Indikator konsentrasi partikel di Kalimantan Tengah menunjukkan tingkat yang lebih tinggi pada tahun 2023 dibandingkan dengan tahun 2022. Paparan udara yang terkontaminasi dengan polusi PM menimbulkan bahaya kesehatan yang substansial bagi orang-orang yang berpartisipasi dalam kegiatan rutin. Namun demikian, terdapat kelangkaan penelitian tentang dampak kebakaran hutan terhadap kesehatan pernapasan di Kalimantan Tengah. Spirometer multiguna Chest Miyagi HI-801 yang telah dikalibrasi digunakan untuk melakukan pengukuran fungsi paru. Para peserta dinilai sambil berdiri di dalam ruangan dalam lingkungan yang terkendali dengan aliran udara yang konsisten. Seorang peneliti merekrut total 215 responden yang memenuhi kriteria penelitian dari 7 lokasi perkotaan dan pedesaan. Lokasi-lokasi tersebut dipilih secara subyektif oleh peneliti untuk mencapai jumlah sampel yang diinginkan, dengan fokus pada lokasi-lokasi yang dekat dengan sumber kebakaran hutan dan lahan gambut. Sebelum tes, tinggi dan berat badan subjek dinilai dan dimasukkan ke dalam spirometer, yang kemudian secara otomatis menghitung prediksi fungsi paru-paru. Spirometri adalah metode yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi paru-paru, yang melibatkan pengukuran beberapa parameter termasuk kapasitas vital paksa (FVC), volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1), rasio FEV1 terhadap FVC, dan Arus Ekspirasi Paksa (FEF). Penelitian ini bertujuan untuk menilai dampak kebakaran hutan yang berulang, yang mengakibatkan kualitas udara yang buruk, terhadap fungsi paru pada individu berdasarkan pekerjaan mereka di Kota Palangka Raya, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kabupaten Kapuas, yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah. Penilaian ini dilakukan dengan menggunakan tes spirometri. Pada tahun 2023, tercatat bahwa kuantitas PM 2.5 di udara di Kota Palangka Raya telah melampaui ambang batas yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Namun, tidak ada variasi yang mencolok dalam fungsi paru-paru di antara para peserta berdasarkan jenis kelamin mereka