This Author published in this journals
All Journal JURNAL HERITAGE
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PRISMATIC POLICY MENUJU EQUILIBRIUM POLITIK: ANALISIS EKONOMI POLITIK KEBIJAKAN SISTEM PEMILU DI INDONESIA Muzakki, MSi, Dr. Moh.
HERITAGE Vol 4 No 1 (2016): Jurnal Heritage
Publisher : Program Studi Ilmu Komunikasi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35891/heritage.v4i1.810

Abstract

Sejak pemilu pertama pada tahun 1955 sampai pemilu terakhir tahun 2014, Indonesiatelah melakukan 11 kali pemilu dengan dua kali eksperimen politik yang berbeda melaluikebijakan yang bersifat uji coba (Trial and error). Hasilnya tercatat delapan kali pemilu diIndonesia menggunakan sistem proporsional tertutup kemudian mengalami krisis ekonomi danpolitik yang berujung pada reformasi tahun 1998. Disusul kemudian, sejak tahun 2004 sudah tigakali pemilu Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka. Hasilnya belum jugamemuaskan semua pihak karena praktik politik uang (Money Politics) semakin tidak terkendali.Kini menjelang pemilu tahun 2019, muncul wacana dari pemerintah untuk mengkombinasikankedua sistem pemilu tersebut menjadi sistem proporsional campuran dengan menggabungkanpendekatan atas dan bawah (Top down and Bottom up) sekaligus. Dari sisi kebijakan publik,sistem proporsional campuran ini menyerupai model kebijakan inkremental sebagaimanaumumnya berlaku di negara-negara berkembang. Sedangkan dari sisi analisis ekonomi politikkebijakan, pemilu dengan sistem proporsional campuran yang menjadi usulan pemerintah lebihmenyerupai model kebijakan prismatik (Prismatic policy) dimana perilaku politik masyarakatbersifat memusat (Sentralistik) sedangkan perilaku ekonominya menyebar (Desentralistik). Jikakebijakan ini tidak tuntas dalam perumusannya, maka bukan mustahil implementasi dari sistemproporsional campuran ini hanya akan menambah deret ukur ketidakpercayaan masyarakatdalam sejarah pemilu kita. Poin terpenting dari sistem proporsional campuran ini, sebenarnyabukan pada penggabungan teknis dan prosedur dalam sistem pemilu, akan tetapi jauh lebihpenting adalah bagaimana pemerintah dapat menjamin substansi demokrasi yang lebih luber danjurdil melalui kebijakan prismatik untuk mencapai titik keseimbangan (Equilibrium) politik bagisemua kelompok kepentingan (Stakeholders) yang ada.
FORMALISME KOMUNIKASI DALAM KEBIJAKAN PEMBANGUNAN Muzakki, MSi, Dr. Moh.
HERITAGE Vol 4 No 2 (2016): Jurnal Heritage
Publisher : Program Studi Ilmu Komunikasi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35891/heritage.v4i2.816

Abstract

Sejak era reformasi Indonesia sebagai salah satu negara berkembang meniru model komunikasi dalam perencanaan pembangunan seperti di negara maju Amerika dan negara-negara di Eropa. Model komunikasi secara terbuka dalam merencanakan sebuah pembangunan itu dikenal bernama Musrenbang sesuai Kepmendagri Nomor: 050-187/Kep/Bangda/2007 dan PP Nomor: 8 tahun 2008. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun sudah ada Musrenbang yang bersifat populis dalam merencanakan pembangunan, namun pada kenyataannya pembangunan di Kabupaten Pasuruan masih bersifat elitis karena didominasi oleh elit lokal baik secara ekonomi maupun secara politik. Dengan demikian Musrenbang bersifat formalistik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil data secara random di lima kecamatan dari 24 kecamatan yang ada. Secara teoritis terdapat dua model komunikasi dalam perencanaan pembangunan yaitu komunikasi model elit dan komunikasi model massa. Pada kenyataannya terdapat inkonsistensi antara perencanaan dengan pelaksanaannya, terbukti tidak semua program usulan dari masyarakat dapat dilaksanakan oleh pemerintah karena terbatasnya anggaran yang dimiliki oleh negara. Meski demikian model komunikasi secara terbuka dalam merencanakan pembangunan melalui Musrenbang masih diperlukan asalkan pemerintah bersikap konsisten untuk melaksanakan program usulan partisipatif dari masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengembangkan jaringan sosial melalui program-program pembangunan. Sebaliknya jika pemerintah tidak konsisten, maka masyarakat akan mengalami disonansi dan akan keluar dari kondisi ketidaknyamanan itu.
BIAS KOMUNIKASI POLITIK DI RUANG PUBLIK DALAM PEMILU DAN PILKADA DI JAWA TIMUR Muzakki, MSi, Dr. Moh.
HERITAGE Vol 3 No 2 (2015): Jurnal Heritage
Publisher : Program Studi Ilmu Komunikasi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35891/heritage.v3i2.824

Abstract

Terdapat perbedaan yang cukup signifikan terhadap fungsi dan makna komunikasi politik di ruang-ruang publik antara di Eropa dan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di Inggris dan Prancis misalnya, ruang publik seperti warung-warung kopi dan salon berfungsi bagi masyarakat untuk mendiskusikan buku-buku terbitan baru, model karya seni dan musik, selain berfungsi secara sosial dan politik. Melalui ruang publik, memungkinkan bagi masyarakat Inggris dan Prancis membangun dialog untuk mencapai sebuah konsensus dalam berdemokrasi. Sementara di Indonesia, ruang publik seperti warung-warung kopi, pasar dan perkebunan di sebagian wilayah Jawa Timur menjadi arena permainan politik uang (Money politics) bagi sebagian masyarakat untuk melakukan komunikasi politik transaksional dalam memenangkan calon tertentu pada Pemilu dan Pilkada untuk memilih calon presiden, calon anggota DPR, DPD, dan DPRD serta calon gubernur, bupati dan walikota. Fakta demikian membuktikan bahwa fungsi komunikasi politik di ruang publik mengalami pembiasaan sehingga bersifat transaksional yang justru cenderung merusak kemurnian dari demokrasi itu sendiri.            Fenomena ini terungkap dari penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan secara terlibat (Partisipatory Observer) pada saat Pemilu dan Pilkada di sejumlah kabupaten dan kota di Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akiabt terjadi pembiasan fungsi dan makna komunikasi politik di ruang-ruang publik pada saat kampanye Pemilu dan Pilkada di Jawa Timur, maka sebagian dari masyarakat pemilih di Jawa Timur memaknai Pemilu dan Pilkada sebagai ajang transaksi untuk melakukan pertukaran suara dengan imbalan sejumlah uang atau barang. Contoh, sebagian masyarakat pemilih di Trenggalek memaknai Pemilu dan Pilkada sebagai bagi-bagi uang kepada para petani perkebunan. Di Probolinggo, sebagian pemilih memaknai Pemilu sebagai bagi-bagi uang dan jilbab kepada pedagang pasar. Di Tuban, Pemilu dimaknai sebagai bagi-bagi sarung. Sedangkan di Gresik, Pemilu dimaknai sebagai bagi-bagi amplop. Di Banyuwangi, sebagian pemilih memaknai Pemilu sebagai bagi-bagi uang kepada para guru ngaji. Sementara sebagian pemilih di Sidoarjo memaknai Pemilu sebagai bagi-bagi beras miskin (Raskin). Di Kota Batu lain lagi, karena sebagian pemilih memaknai Pemilu sebagai bagi-bagi sembako seperti beras, gula, telur dan minyak.Â