Kehilangan kepemilikan atas tanah yang digunakan sebagai jaminan hipotek dapat menimbulkan masalah hukum tertentu. UUHT Pasal 18 ayat (1) huruf d menyatakan bahwa suatu hipotek menjadi batal apabila hak milik yang dijaminkan atas barang itu hilang. Sekalipun hipoteknya hapus, perjanjian hutang atau tagihan antara kreditur dan debitur tetap sah. Karena jaminan perlindungan hukum yang diberikan bersifat umum dan tidak khusus, maka keadaan ini dapat merugikan penerima hipotek jika debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan mengacu pada berbagai peraturan hukum terkait dan studi pustaka. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana hukum mengatur situasi ini dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan atau peningkatan perlindungan hukum bagi kreditur dalam kasus seperti ini. Dapat disimpulkan bahwa hilangnya hak milik atas tanah yang dijadikan jaminan hipotek juga mempengaruhi hilangnya hak tanggungan. Dalam situasi ini, kreditur mempunyai beberapa pilihan untuk menyelesaikan tuntutannya. Hal ini termasuk mengizinkan debitur untuk mengajukan permohonan ganti rugi atas hilangnya hak milik ke pengadilan negeri setempat, dan membuat adendum perjanjian pinjaman untuk perubahan agunan dan penegakan aset lainnya yang memerlukan persetujuan kedua belah pihak atau mengeksekusi harta kekayaan lain yang dimiliki oleh debitur. Apabila proses negosiasi tidak dapat tercapai, kreditur dapat menempuh upaya hukum dengan mengajukan gugatan melalui proses pengadilan.