Penyimpanan barang bukti narkotika yang telah mendapat keputusan untuk dimusnahkan menimbulkan risiko potensial seperti penyebaran kembali ke masyarakat atau penyalahgunaan oleh individu yang tidak bertanggung jawab. Terdapat fakta bahwa banyak barang bukti narkotika yang telah memiliki keputusan hukum tetap masih disimpan sementara karena berbagai kendala, termasuk keterbatasan jumlah atau hambatan lainnya. Penelitian ini mengangkat permasalahan terkait pengaturan kewenangan jaksa dalam menangani barang bukti tindak pidana narkotika, pelaksanaan peran jaksa dalam konteks tersebut, dan upaya serta hambatan yang dihadapi oleh jaksa dalam menangani barang bukti narkotika. Metodologi penelitian yang diterapkan bersifat normatif dengan dukungan data empiris dari hasil wawancara dengan pendekatan analisis deskriptif, dengan fokus pada aspek perundang-undangan. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan serta wawancara sebagai tambahan informasi. Dalam ranah hukum Indonesia, kewenangan jaksa terhadap barang bukti narkotika diatur dalam Pasal 270 hingga 276 KUHAP, Pasal 30 ayat (1) huruf b UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI, dan Pasal 91 Ayat 1 UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang memberikan wewenang dalam menentukan status barang narkotika. Peran jaksa dalam penanganan barang bukti narkotika dijelaskan dalam SOP Kejaksaan RI No. 2 Tahun 2022 pada Bab III yang meliputi pencatatan, penelitian, penyimpanan, pemeliharaan, pengamanan, penyediaan, pengembalian, dan penyelesaian barang rampasan. Hambatan yang dihadapi melibatkan faktor internal dan eksternal, namun upaya preventif dan represif telah ditempuh untuk mengatasinya. Upaya ini difokuskan pada penyelesaian faktor internal dan eksternal dalam penanganan barang bukti narkotika. Penelitian ini menyoroti pentingnya peran jaksa dalam menangani barang bukti narkotika, sambil menekankan perlunya upaya yang lebih efektif dalam mengatasi hambatan demi perbaikan penanganan di masa depan.