Karya tari Bhrantacitta berangkat dari refleksi mendalam terhadap fase Grahasta Asrama dalam tradisi Hindu Bali, khususnya pengalaman seorang wanita yang berada di ambang perubahan status kehidupan. Inspirasi penciptaan muncul dari dua dimensi utama: (1) faktor internal, berupa gejolak rasa yang dialami wanita menjelang pernikahan; (2) faktor eksternal, berupa prosesi sakral Mekala-kalaan sebagai bagian dari prosesi pernikahan adat Bali. Karya ini hadir karena kebutuhan untuk mengungkap ulang makna spiritual dan kultural dari pernikahan yang berangkat dari urgensi untuk menghadirkan kembali kesadaran kolektif tentang nilai spiritual dan transformatif dari pernikahan adat Bali. Proses penciptaan karya ini menggunakan metode Urip Manga, yang terdiri dari lima tahapan: ngawit, ngekeb, madewasa ayu, mejauman, dan ngungkab lawang. Metode ini dikembangkan melalui pendekatan site specific berbasis realitas virtual. Konsep ini menghadirkan perpaduan antara ruang, tubuh, dan ilusi peristiwa, di mana unsur-unsur pertunjukan menggambarkan pengalaman-pengalaman spiritual yang berakar pada realitas budaya. Koreografi menempati dan berinteraksi dengan ruang, menciptakan dimensi visual yang merepresentasikan makna dari tiap tahapan ritual pernikahan. Hasil penciptaan karya ini menunjukkan proses kreativitas yang berkembang dari eksplorasi rasa dan pengalaman budaya, pembentukan wujud dan struktur tari yang berakar dari simbolisme ritual, serta penyampaian pesan bahwa pernikahan bukan semata perayaan sosial, tetapi sebuah laku hidup yang menuntut pemahaman, penghormatan, dan kesiapan batin. Melalui Bhrantacitta, karya ini menjadi pengingat bahwasannya pernikahan merupakan fase paling suci dalam kehidupan, yang menyatukan dua insan sekaligus menuntun mereka menapaki jalan spiritual melalui rangkaian prosesi penuh makna, seperti tahapan Mekala-kalaan.