Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan membandingkan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia dan Malaysia. Dalam konteks Asia Tenggara, kedua negara ini memiliki posisi strategis baik sebagai negara asal maupun tujuan perdagangan anak, namun menghadapi tantangan serius dalam efektivitas implementasi perlindungan hukumnya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan komparatif, dengan mengkaji regulasi yang berlaku, seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia; serta Child Act 2001 dan ATIPSOM 2007 di Malaysia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia unggul dalam aspek pengaturan hak restitusi dan adanya lembaga independen seperti LPSK, sementara Malaysia memiliki kelebihan dalam ketersediaan shelter dan sistem perlindungan sementara (place of safety). Namun, keduanya menghadapi tantangan serupa dalam hal pendataan korban, keterbatasan sumber daya, serta lemahnya koordinasi antar lembaga. Penelitian ini merekomendasikan penguatan implementasi kebijakan, peningkatan kapasitas kelembagaan, serta pembentukan sistem perlindungan yang lebih integratif dan responsif terhadap kebutuhan anak korban TPPO.