Fenomena migrasi ilegal melalui jalur laut merupakan salah satu isu global yang menimbulkan tantangan serius bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Sebagai negara transit dan tujuan migran, Indonesia menghadapi dilema antara menjaga kedaulatan dan memenuhi kewajiban moral kemanusiaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi selective policy dalam hukum keimigrasian Indonesia terhadap migran ilegal jalur laut, baik dari perspektif hukum nasional maupun hukum internasional. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, konseptual, dan perbandingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selective policy ditegaskan dalam UU Keimigrasian sebagai prinsip kedaulatan negara untuk hanya menerima orang asing yang memberikan manfaat dan menolak yang berpotensi menimbulkan ancaman. Namun, dalam praktiknya, penerapan kebijakan ini sering menghadapi tekanan internasional, khususnya ketika berhadapan dengan pengungsi Rohingya yang membutuhkan perlindungan darurat. Keterbatasan regulasi nasional terkait status pengungsi membuat Indonesia bergantung pada kerja sama dengan UNHCR dan IOM dalam penanganannya. Di sisi lain, selective policy efektif sebagai instrumen administratif untuk mencegah migrasi ilegal, tetapi menimbulkan potensi pelanggaran prinsip non-refoulement yang telah menjadi norma hukum kebiasaan internasional. Kondisi ini memperlihatkan adanya ketegangan antara kepentingan kedaulatan negara dan pemenuhan kewajiban kemanusiaan global. Oleh karena itu, selective policy perlu diharmonisasikan dengan instrumen perlindungan hak asasi manusia internasional agar tetap relevan dan sejalan dengan komitmen Indonesia di tingkat global.