Penelitian ini mengkaji penerapan hukum pidana dalam kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh pers di era digital dengan tujuan memetakan kerangka normatif, menelaah interpretasi yudisial, dan merumuskan rekomendasi kebijakan agar tercipta keseimbangan antara perlindungan reputasi dan kebebasan pers. Menggunakan pendekatan yuridis-normatif yang mengombinasikan statute approach, case approach, dan conceptual approach, penelitian menelaah KUHP (lama dan KUHP baru), UU Pers, UU ITE, serta putusan pengadilan dan dokumen kebijakan terkait periode 2020–2025. Hasil analisis menunjukkan adanya tumpang tindih regulasi dan inkonsistensi penerapan: produk jurnalistik seharusnya tunduk pada mekanisme lex specialis UU Pers (hak jawab, hak koreksi, Dewan Pers), sementara KUHP dan UU ITE kerap dipergunakan sebagai jalan pidana terutama terhadap konten yang tersebar melalui platform elektronik pribadi yang berpotensi menyebabkan kriminalisasi berlebih terhadap jurnalis. Putusan yudisial terbaru mengindikasikan adanya pergeseran menuju penilaian substantif yang mempertimbangkan kepentingan publik, verifikasi jurnalistik, dan unsur niat (mens rea). Penelitian merekomendasikan harmonisasi peraturan, penguatan peran Dewan Pers sebagai filter awal, penggunaan pidana hanya sebagai ultimum remedium, serta penerapan mekanisme restorative justice sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Temuan ini relevan bagi pembuat kebijakan, aparat penegak hukum, dan pelaku media dalam merumuskan praktik penegakan hukum yang proporsional di era informasi digital.