Pertumbuhan pesat lawayan medis estetika di Indonesia menimbulkan kompleksitas etikolegal yang semakin menonjol, terutama terkait penerapan prinsip informed consent sebagai prasyarat tindakan medis. Penekitian ini menganalisis akibat hukum dari pemberian informed consent yang tidak disertai dengan informasi yang memadai dalam praktik medis estetika dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, mengkaji undang-undang, putusan pengadilan, doktrin, serta teori bioetika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan medis estetika bersifat elektif dan berbasis preferensi pasien sehingga menuntut standar komunikasi risiko yang lebih tinggi. Ketidakcukupan informasi menyebabkan substantive invalidity meskipun terdapat formulir persetujuan secara formal. Dalam ranah perdata, cacatnya informed consent menyebabkan persetujuan tidak sah dan membuka potensi gugatan perbuatan melawan hukum, termasuk tanggung jawab korporasi fasilitas layanan. Dalam ranah pidana, tindakan tanpa persetujuan yang sah yang menimbulkan luka berat dapat memenuhi unsur kelalaian sebagaimana diatur dalam Pasal 359-360 KUHP. Sementara itu, dalam ranah administratif dan disipliner, Majelis Disiplin Profesi (MDP) berwenang menjatuhkan sanksi atas pelanggaran standar profesional terkait duty to inform. Penelitian ini menegaskan bahwa informed consent dalam estetika harus dipandang sebagai proses komunikasi subtansif, bukan sekedar formalitas administratif. Kegagalan memenuhi standar tersebut mengaktifkan seluruh perangkat tanggungjawab hukum, memperlihatkan urgensi penguatan regulasi, dokumentasi, dan mekanisme mitigasi risiko pada praktik medis estetika di Indonesia