Sengketa pada objek tanah yang telah diwakafkan dan diajukan melalui gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) di Pengadilan Negeri menunjukkan meningkatnya kompleksitas permasalahan hukum terkait status, pengelolaan, dan kepemilikan tanah wakaf. Padahal, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 secara tegas menyatakan bahwa harta benda wakaf bersifat kekal dan tidak dapat dialihkan atau dijadikan objek sengketa kepemilikan pribadi. Dalam konteks tersebut, tergugat yang posisinya sebagai nazhir, merupakan pihak yang menerima amanah wakaf seringkali berada pada posisi sulit ketika digugat atas dasar PMH, meskipun ia tidak terlibat dalam proses sebelum wakaf atau dugaan perbuatan melawan hukum yang terjadi sebelumnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif-empiris dengan spesifikasi deskriptif-kualitatif untuk mengkaji strategi pembelaan hukum nadzir dalam mediasi sengketa perbuatan melawan hukum atas tanah wakaf. Pendekatan normatif dilakukan melalui analisis peraturan perundang-undangan, doktrin, dan putusan, sedangkan pendekatan empiris diperoleh dari wawancara dan observasi praktik mediasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan nadzir sebagai pengelola wakaf memiliki perlindungan hukum kuat melalui akta ikrar wakaf, sertifikat tanah wakaf, serta ketentuan Pasal 3 dan 40 Undang-Undang Wakaf. Pembelaan hukum yang dilakukan tergugat (nazhir) pada tahap mediasi berperan penting dalam menegaskan tidak terpenuhinya unsur-unsur perbuatan melawan hukum, sekaligus memperkuat posisi hukum wakaf sebagai aset sosial-keagamaan yang tidak dapat diganggu gugat.