Pada praktik perjanjian penjaminan (borgtocht), pada umumnya apabila penanggung (dalam hal ini pewaris) yang telah melepaskan hak istimewanya meninggal dunia, ahli waris dari personal guarantee sering ikut dimohonkan pailit oleh kreditor anggapan bahwa untuk menggantikan posisi hukum penanggung. Kondisi demikian tentu menimbulkan ketidakpastian hukum bagi ahli waris. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan memanfaatkan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), yang fokus utamanya pada penelaahan terhadap ketentuan hukum positif yang relevan serta prinsip dan hierarki norma yang berkaitan dengan isu yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa personal guarantee yang telah melepaskan hak istimewanya akan menanggung konsekuensi hukum berupa hilangnya hak untuk meminta agar harta debitor disita, dijual, atau dilelang terlebih dahulu guna melunasi utang. Dengan demikian, kedudukannya dapat disamakan dengan debitor. Hal demikian selaras dengan pengaturan Pasal 1826 KUHPerdata yang mengatur bahwa “segala perikatan penanggung beralih kepada para ahli warisnya.” Selanjutnya, tanggung jawab ahli waris dari personal guarantee yang telah melepaskan hak istimewanya berkaitan erat dengan asas saisine selaras dengan pengaturan dalam Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata. Berdasarkan asas tersebut, seorang ahli waris memperoleh secara hukum seluruh hak dan kewajiban pewaris sejak saat kematian tanpa memerlukan tindakan hukum tambahan. Namun demikian, KUHPerdata juga memberikan kebebasan bagi ahli waris untuk menentukan sikap terhadap warisan yang terbuka, yaitu dengan tiga pilihan: menerima warisan sepenuhnya, menolak warisan, atau menerimanya secara beneficiair (menerima dengan syarat tertentu).