This Author published in this journals
All Journal Hukum dan Kebudayaan
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

KEWENANGAN PECALANG MENGATUR KEAMANAN DAN KETERTIBAN UPACARA ADAT DI DESA ADAT SERAYA KABUPATEN KARANGASEM Gede Arthadana, Made
Hukum dan Kebudayaan Vol. 1 No. 1 Mei (2020): Hukum dan Kebudayaan
Publisher : UNHI Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Fungsi dan wewenang pecalang telah mendorong setiap desa memberdayakan satuan pengamanannya dalam kerangka aturan yang mengikat di masing-masing desa (awig-awig Desa Adat), dibutuhkan peraturan yang mengatur sepak terjang pecalang sehingga dalam melaksanakan tugas dapat berjalan dengan baik dan lancar. Penelitian ini mengkaji lebih lanjut tentang dasar hukum kewenangan pecalang dalam mengatur keamanan dan ketertiban saat upacara adat di Desa Adat Seraya dan bagaimana kewenangan pecalang dalam mengatur keamanan dan ketertiban saat upacara adat di Desa Adat Seraya. Jenis penelitian adalah jenis penelitian empiris (law in action) yaitu suatu penelitian yang beranjak dari adanya kesenjangan antara das solen dengan das sein, Pendekatan berdasarkan Awig-Awig Desa Adat Seraya serta praktek dilapangan terkait pada Kewenangan pecalang dalam mengatur keamanan dan ketertiban saat upacara adat di Desa Adat seraya kabupaten karangasem. Kesimpulan, dasar hukum kewenangan pecalang dalam mengatur keamanan dan ketertiban saat upacara adat di Desa Adat Seraya adalah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, Awig-Awig Desa Adat Seraya, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem. Tertanggal 2 April 2007. Kewenangan pecalang dalam mengatur keamanan dan ketertiban saat upacara di Desa Adat Seraya terutama pada kegiatan adat, budaya dan agama guna menciptakan ketertiban (kasukertan) desa termasuk didalamnya adalah menjaga ketertiban masyarakat adat yang hendak menggunakan jalan untuk melaksanakan kegiatan adatnya.
ASPEK LEGALITAS HUKUM PIDANA DENGAN HUKUM ADAT Alit Yoga Maheswara, Ida Bagus; Gede Arthadana, Made; Indra Apsaridewi, Komang
Hukum dan Kebudayaan Vol. 1 No. 2 November (2020): Hukum dan Kebudayaan
Publisher : UNHI Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Keberagaman budaya dan latar belakang masyarakat Republik Indonesia menciptakan suatu perkumpulan adat dimana masyarakatnya hidup dengan kebiasaan – kebiasaan tertentu yang berlaku di wilayah masyarakatnya masing – masing. Perkumpulan ini disebut sebagai masyarakat adat yang tunduk kepada aturan yang kebanyakan non tertulis disebut sebagai “hukum adat”. Biarpun dengan keadaan tanpa “kenormatifan” dari Negara, hukum adat sampai saat ini hidup dan tumbuh bersama masyarakat adatnya (living law). Undang – undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 telah dengan jelas mengatur mengenai pengakuan dan eksistensi masyarakat Hukum Adat dalam Pasal 18b, Pasal 28i Ayat (3) dan Pasal 32 Ayat (1) dan (2). Menandakan bahwa biarpun sudah melewati proses justifikasi oleh pemerintah, tidak mengubah kekuatan maupun pengaruh hukum adat itu untuk tetap diakui oleh masyarakat. Sifat fleksibel dan bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat hukum adatnya tersebutlah yang menjadikan hukum adat dapat mengambil tindakan menghukum / mengadili masyarakat adatnya tanpa adanya hukum tertulis dari pemerintah, padahal dalam Kitab Undang – undang Hukum Pidana Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa : “Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya. Lalu bagaimana keadaannya dengan hukum adat?. Apakah masyarakat diberikan pilihan untuk menggunakan hukum adat atau hukum pidana?. Atau apakah terdapat eksklusifitas dalam hal penerapan antara hukum pidana dengan hukum adat?
KEDUDUKAN SUAMI BERDASARKAN ATURAN WARIS BALI DALAM PERKAWINAN NYEBURIN DI BANJAR LEPANG, KECAMATAN BANJARANGKAN, KABUPATEN KLUNGKUNG Gede Arthadana, Made
Hukum dan Kebudayaan Vol. 1 No. 3 Mei (2021): Hukum dan Kebudayaan
Publisher : UNHI Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sistem kekeluargaan atau kekerabatan Patrilinial di Bali, dengan didasari oleh Budaya Bali serta Agama Hindu yang sangat taat, dan adatnya yang kental serta norma-norma yang hidup dan tumbuh dikalangan masyarakat Adat Bali dan kebiasaan yang diyakini dilaksanakan dan ditaati oleh masyarakat Bali dapat memberikan solusi untuk pasangan suami istri yang tak mempunyai generasi purusha sehingga sebuah rumah tangga mempunyai penerus keturunan. Mengenai kedudukan dan status dari laki-laki yang berkedudukan sebagai predana. Bila putusnya perkawinan baik yang masih tinggal di rumah istrinya ataupun yang sudah mulih bajang/truna (pulang ke rumah asal orang tuanya). Pengaturan ini tidak tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, maka kedudukan dan status laki-laki Bali dan beragama Hindu yang melaksanakan perkawinan dalam bentuk nyeburin akan dibahas dalam hukum waris yang berlaku secara umum di Bali. Dengan demikian maka penulis ingin mengangkat skripsi yang berjudul ”Kedudukan Suami Menurut Hukum Waris Bali. Dalam Perkawinan Nyeburin”. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat di formulasikan suatu permasalahan dalam penulisan skripsi antara lain bagaimanakah kedudukan waris suami yang berstatus sebagai predana dirumah asalnya dan dagaimanakah kedudukan waris suami yang berstatus sebagai predana dirumah istrinya. Penelitian yang dilaksanakan adalah pengolahan dan analisis hukum yang berarti kegiatan pengumpulan aturan perundang-undangan, konsep, teori, dan asas-asas hukum, sebagai pisau analisa dalam menjawab permasalahan hukum yang ada. Jawabannya adalah Kedudukan Waris bagi Suami berstatus sebagai predana dirumah asalnya. Menurut Awig-Awig Adat di Desa Pakraman Lepang Klungkung, statusnya disamakan dengan Mulih Deha, karena status laki-laki itu adalah disamakan dengan perempuan/Janda, setelah kembali kerumah asalnya maka haknya untuk menjadi ahli waris dirumah asalnya tak dapat dikembalikan lagi dan Kedudukan Waris Suami yang berstatus sebagai predana dirumah istrinya, maka statusnya adalah disamakan dengan janda. Dengan status yang disamakan dengan janda, maka laki-laki itu bukanlah merupakan ahli waris, tetapi hanya berhak untuk menikmati hasil dari warisan yang ditinggalkan mendiang istrinya.