Abstract: This article analyzes Luke 8:40–48 with a focus on Jesus’ act of restoring the woman who had suffered from chronic bleeding for twelve years as a form of holistic restoration encompassing physical, social, and spiritual dimensions. In the context of first-century Jewish society, the woman was considered unclean and experienced both social and religious exclusion. Using a qualitative approach with narrative-critical and socio-historical methods, this study highlights how Luke presents Jesus as the Messiah who transcends social and religious boundaries to manifest God’s saving love in its fullness. Drawing on modern interpretive theories from Stephen D. Moore, Joel B. Green, Barbara E. Reid, Mary H. Schertz, and Dedi Bili Laholo, this research demonstrates that the healing event is not merely a physical miracle but a theological symbol of liberation and inclusivity within the Kingdom of God. Theologically and pastorally, this study affirms the church’s calling to embody Jesus’ love through inclusive, empathetic, and holistic ministry one that not only proclaims spiritual salvation but also restores human dignity and builds solidarity with the marginalized. Abstrak: Artikel ini menganalisis Lukas 8:40–48 dengan fokus pada tindakan Yesus yang memulihkan perempuan yang menderita pendarahan selama dua belas tahun sebagai bentuk pemulihan holistik yang mencakup dimensi fisik, sosial, dan spiritual. Dalam konteks masyarakat Yahudi abad pertama, perempuan tersebut dianggap najis dan mengalami keterasingan sosial serta religius. Melalui pendekatan kualitatif dengan metode kritik naratif dan sosio-historis, penelitian ini menyoroti bagaimana Lukas menampilkan Yesus sebagai Mesias yang melampaui batas-batas sosial dan religius untuk menghadirkan kasih Allah yang menyelamatkan secara utuh. Dengan memanfaatkan teori-teori tafsir modern dari Stephen D. Moore, Joel B. Green, Barbara E. Reid, Mary H. Schertz, dan Dedi Bili Laholo, kajian ini menunjukkan bahwa peristiwa penyembuhan tersebut tidak sekadar mukjizat fisik, tetapi simbol teologis pembebasan dan inklusivitas Kerajaan Allah. Secara teologis dan pastoral, penelitian ini menegaskan panggilan gereja masa kini untuk meneladani kasih Yesus melalui pelayanan yang inklusif, empatik, dan holistik yang tidak hanya berfokus pada keselamatan rohani, tetapi juga memulihkan martabat manusia dan membangun solidaritas dengan kaum termarginalkan.