Perkembangan teknologi informasi telah melahirkan berbagai bentuk kejahatan baru, salah satunya adalah sekstorsi (sextortion), yaitu pemerasan seksual yang dilakukan melalui penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas. Fenomena ini menjadi kompleks karena mengandung dua unsur sekaligus: korupsi dan kekerasan seksual berbasis relasi kuasa. Namun, hingga kini hukum pidana Indonesia belum secara eksplisit mengatur sekstorsi, baik dalam KUHP, UU Tipikor, maupun UU TPKS, sehingga menimbulkan kekosongan norma dan kesulitan penegakan hukum. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan komparatif terhadap pengaturan sekstorsi di Amerika Serikat, khususnya dalam 18 U.S.C. § 201 (Federal Bribery Statute) dan 18 U.S.C. § 1951 (Hobbs Act). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Amerika Serikat telah menafsirkan frasa “anything of value” mencakup keuntungan non-materiil seperti layanan seksual, sebagaimana dalam kasus United States v. Williams, United States v. Ronnie Goldy Jr., dan United States v. Petrovic. Sementara di Indonesia, gratifikasi masih dimaknai secara sempit sebagai pemberian materiil, sehingga praktik sekstorsi sulit dijerat. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kekosongan pengaturan sekstorsi dalam hukum pidana Indonesia, mengkaji relevansi pengaturan sekstorsi dalam kerangka tindak pidana korupsi berdasarkan perbandingan dengan sistem hukum Amerika Serikat, serta merumuskan urgensi kriminalisasi sekstorsi sebagai tindak pidana khusus dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi guna menjamin kepastian hukum, memperkuat perlindungan korban, dan menegaskan penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan seksual sebagai bentuk korupsi yang serius dan melanggar martabat manusia