Penelitian etnolinguistik ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan secara komprehensif interpretasi masyarakat Jawa, khususnya orang tua dan tokoh adat, terhadap tiga peribahasa kunci mengenai hubungan anak dan orang tua, serta menelaah pergeseran maknanya akibat modernisasi. Suku Jawa, yang dikenal memiliki pengaruh besar dalam tatanan moralitas dan etika di Indonesia, mewariskan ajaran kebaktian melalui peribahasa sebagai inti dari kearifan lokal. Tiga peribahasa yang dikaji adalah Mikul Dhuwur Mendem Jero, Kacang Ora Ninggal Lanjaran, dan Anak Polah Bapak Kepradhah. Penelitian menggunakan pendekatan etnolinguistik dan metode cakap (wawancara mendalam) terhadap tiga informan kunci. Hasil penelitian menunjukkan adanya dinamika antara upaya melestarikan nilai luhur dan pergeseran makna yang tak terhindarkan dalam pandangan masyarakat kontemporer. Interpretasi makna filosofis Mikul Dhuwur Mendem Jero konsisten dimaknai sebagai kewajiban anak menjunjung martabat dan menyembunyikan aib orang tua. Namun, pergeseran makna yang signifikan terlihat pada Kacang Ora Ninggal Lanjaran, yang oleh sebagian informan ditafsirkan sebagai kewajiban untuk tidak melupakan asal atau orang yang telah berbuat baik, bukan lagi hanya soal pewarisan karakter dari orang tua. Sementara itu, Anak Polah Bapak Kepradhah dinilai kontroversial dan hanya relevan pada rentang waktu tertentu, sebab konsekuensi perbuatan anak yang sudah dewasa (baligh) seharusnya ditanggung sendiri oleh anak tersebut. Secara keseluruhan, disimpulkan bahwa interpretasi dan pergeseran makna ini merupakan proses adaptasi nilai di mana masyarakat mulai mengoreksi relevansi universal peribahasa di tengah arus modernisasi, namun tetap berupaya mempertahankan ajaran kebaktian sebagai poros utama moralitas sosial.