Fenomena pernikahan usia dini masih menjadi persoalan serius di Indonesia, termasuk di Kabupaten Bondowoso, yang hingga kini mencatat angka tinggi dalam pengajuan dispensasi nikah. Padahal, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah dengan tegas menetapkan usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun. Kondisi tersebut menimbulkan dilema antara penerapan hukum positif, tekanan sosial-budaya yang kuat, serta nilai-nilai syariat Islam yang hidup di masyarakat. Penelitian ini berupaya menjawab dua pokok permasalahan utama. Pertama, bagaimana peran strategis Pengadilan Agama Bondowoso dalam mencegah pernikahan dini ditinjau dari perspektif Maqāṣid al-Syarī‘ah Abdul Majid An-Najjar. Kedua, apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan strategi pencegahan tersebut menurut pandangan maqāṣid. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan praktik pencegahan pernikahan dini yang dilakukan oleh Pengadilan Agama Bondowoso serta menganalisisnya melalui pendekatan maqāṣid al-syarī‘ah, agar dapat memberikan pemahaman akademis dan praktis terkait upaya perlindungan anak oleh lembaga peradilan agama. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, melalui teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengadilan Agama Bondowoso menjalankan peran strategis melalui kebijakan pengetatan dispensasi nikah, edukasi hukum kepada masyarakat, serta kerja sama lintas lembaga. Dalam pandangan maqāṣid al-syarī‘ah, kebijakan tersebut sejalan dengan tujuan menjaga jiwa (ḥifẓ al-nafs), melindungi keturunan (ḥifẓ al-nasl), dan menjaga kehormatan (ḥifẓ al-‘irḍ). Temuan ini menegaskan pentingnya penguatan literasi hukum dan kesadaran sosial masyarakat sebagai upaya menekan angka pernikahan anak, sehingga nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan syariat dapat terwujud secara berkelanjutan.