Belanja Negara (APBN). Kontribusinya sangat besar, dengan penerimaan pajak hampir mencapai 80% dari total penerimaan negara. Sejak 1 April 2022, Indonesia, melalui Undang-Undang HPP No. 7 Tahun 2021, telah mulai menerapkan kebijakan pengelompokan barang kebutuhan pokok untuk menentukan barang mana saja yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan ini telah memicu kontroversi di masyarakat. Melonjaknya harga kebutuhan pokok telah menimbulkan kekhawatiran akan melemahnya daya beli masyarakat. DKI Jakarta, sebagai pusat kegiatan ekonomi nasional dengan kepadatan penduduk yang tinggi, merupakan wilayah kunci untuk memahami dampak kebijakan ini. Tingginya biaya hidup dan ketimpangan sosial-ekonomi di wilayah ini membuat kelas menengah ke bawah sangat rentan terhadap perubahan harga pangan pokok. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan pengelompokan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang kebutuhan pokok sebagaimana diatur dalam Undang-Undang HPP No. 7 Tahun 2021, khususnya terkait daya beli masyarakat, dengan fokus pada kelompok berpenghasilan menengah ke bawah. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji implikasinya terhadap harga kebutuhan pokok dan pola konsumsi masyarakat, serta mengembangkan rekomendasi dan solusi kebijakan untuk meminimalkan dampak negatif kebijakan PPN atas bahan baku, menjaga daya beli masyarakat, dan menjaga stabilitas ekonomi rumah tangga. Studi ini menemukan bahwa dua dari tiga konsumen melaporkan penurunan daya beli, dan para pemilik usaha mengeluhkan berkurangnya belanja konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kebijakan PPN tidak diterapkan secara langsung, struktur harga tetap berubah, dan beban akhir dirasakan oleh konsumen dan pelaku usaha kecil. Efek ini menunjukkan sifat regresif kebijakan fiskal, yang harus dipantau secara cermat untuk mencegah kerugian lebih lanjut bagi kelompok rentan. Kata Kunci : kebutuhan pokok; kebijakan fiskal; PPN.