Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

KEDUDUKAN SAKSI MAHKOTA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BEDASARKAN ASAS PERADILAN YANG ADIL Carlo Athallah Yassar; I Gusti Ngurah Nyoman Krisnadi Yudiantara
Jurnal Media Akademik (JMA) Vol. 3 No. 11 (2025): JURNAL MEDIA AKADEMIK Edisi November
Publisher : PT. Media Akademik Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62281/kr52xh92

Abstract

Penelitian ini membahas kedudukan saksi mahkota dalam sistem peradilan pidana Indonesia serta problematika yang muncul dari penggunaannya. Saksi mahkota adalah seorang terdakwa yang memberikan keterangan terhadap terdakwa lain dalam perkara pidana yang dilakukan bersama-sama (deelneming). Meskipun tidak diatur secara tegas dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keberadaannya memperoleh legitimasi melalui yurisprudensi Mahkamah Agung, khususnya Putusan Nomor 1986 K/Pid/1989 yang memperbolehkan penggunaan saksi mahkota dengan syarat keterangannya tidak boleh dijadikan satu-satunya dasar pemidanaan. Penggunaan saksi mahkota biasanya muncul sebagai konsekuensi dari pemisahan berkas perkara (splitsing) oleh jaksa penuntut umum ketika alat bukti yang ada belum cukup menggambarkan peran masing-masing pelaku. Walaupun dianggap efektif untuk memperkuat pembuktian, mekanisme ini menimbulkan dilema karena berpotensi mengesampingkan hak terdakwa, terutama prinsip non self-incrimination yang melarang seseorang dipaksa memberikan keterangan memberatkan dirinya sendiri. Permasalahan semakin terlihat ketika saksi mahkota berada dalam posisi ganda sebagai terdakwa sekaligus alat bukti, sehingga membuka peluang terjadinya tekanan atau pemberian janji keringanan hukuman dari aparat penegak hukum. Hal ini dapat menghasilkan kesaksian bias dan mengancam asas fair trial yang menuntut proses peradilan imparsial dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Melalui penelitian hukum normatif, ditemukan bahwa penggunaan saksi mahkota harus dilakukan secara hati-hati, dibatasi, dan didukung alat bukti lain sesuai Pasal 183 KUHAP. Kasus Marsinah menunjukkan bagaimana penyalahgunaan mekanisme ini dapat melahirkan pelanggaran HAM. Oleh karena itu, diperlukan reformulasi hukum acara pidana, terutama revisi KUHAP untuk mempertegas kedudukan dan batasan saksi mahkota.