Revolusi Transformasi digital global menghadirkan sebuah "Trilogi Infrastruktur Digital" berupa Blockchain, Smart Contract, dan Cryptocurrency yang menawarkan arsitektur desentralisasi, menantang konsep kedaulatan hukum dalam sistem perdata Indonesia. Penelitian ini bertujuan menganalisis kualifikasi yuridis serta problematika penegakan hukum (enforcement) terhadap trilogi tersebut dalam tatanan hukum positif nasional. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual, penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia telah mengupayakan harmonisasi regulasi melalui UU ITE, UU P2SK, dan PP 28/2025. Secara yuridis, Blockchain diakui sebagai Sistem Elektronik dan infrastruktur pembuktian, sementara Cryptocurrency dikualifikasikan sebagai Aset Keuangan Digital yang sah sebagai objek perjanjian. Smart Contract diposisikan sebagai "Agen Elektronik", yang secara tegas menolak doktrin "Code is Law" dengan mengatribusikan tanggung jawab hukum kepada penyelenggara. Meskipun legitimasi normatif telah terbentuk, penelitian ini mengungkap adanya disharmoni fundamental antara logika hukum perdata yang fleksibel, seperti asas itikad baik, dengan sifat teknologi yang kaku dan immutable. Hal ini menciptakan enforcement gap yang kritis, di mana mekanisme pemulihan hak perdata (restitutio in integrum) sulit dieksekusi secara teknis dalam jaringan yang otonom dan anti intervensi. Regulasi saat ini dinilai baru sebatas memberikan legitimasi administratif namun lemah dalam eksekusi pemulihan kerugian. Oleh karena itu, penelitian merekomendasikan rekonstruksi regulasi PSE berbasis risiko yang membedakan entitas kustodial (CEX) dan non-kustodial (DEX), adopsi doktrin yudisial "Off-Chain Prevails over On-Chain", serta kewajiban fitur teknis "Emergency Pause" dalam smart contract untuk memastikan kedaulatan hukum negara tetap berkuasa di atas determinisme teknologi demi perlindungan konsumen yang efektif.