Satrio Dwicahyo
Faculty Of Cultural Science Universitas Gadjah Mada

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

The Unregulated Domain: The Absence of Islam in the 1681 Alliance Treaty between Cirebon and the Dutch East India Company Satrio Dwicahyo
Tashwirul Afkar Vol. 40 No. 2 (2021): December 2021
Publisher : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Islam has always been the fulcrum of Cirebon courts. The centrality of Islam in the courts’ politics and culture is apparent today as it was in the seventeenth century. The last three decades of the seventeenth century were crucial for Cirebon since the formerly unitary sultanate of Cirebon (or Pakungwati) experienced a trifurcation. Subsequently, the new Cirebon rulers consisted of two sultans and one lord (panembahan) made a breakthrough by signing an alliance treaty with the Dutch East India Company (or VOC). Both parties signed the first treaty in 1681, which consensually confined the three rulers from exercising “real” powers. Although Islam is the core of Cirebon’s power, it was missing from both the negotiation and the final draft of the 1681 treaty. The present study, therefore, will unravel the arguments behind the “absence” of clauses that regulate Cirebon rulers’ religious exercise from the treaty that aims to limit their power. In so doing, this study accesses the combination of Dutch primary sources (VOC documents) with Cirebon local sources (Babad, Naskah, among others). Preliminary findings of the present study indicate that Cirebon and VOC shared different notions of power. Although VOC recognizes Cirebon’s priesthood, the company showed no interest in regulating the aspect that did not significantly influence them.
[Book Review] Di Belanda Tak Seorangpun Mempercayai Saya: Korban Metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946-1947 Satrio Dwicahyo
Humaniora Vol 31, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (265.028 KB) | DOI: 10.22146/jh.39423

Abstract

Pertumbuhan Ekonomi di Era Orde Baru Satrio Dwicahyo
Lembaran Sejarah Vol 10, No 2 (2013)
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (559.581 KB) | DOI: 10.22146/lembaran-sejarah.23707

Abstract

Istilah “Orde Baru” di dalam sejarah Indonesia menempati tingkat popularitas yang tinggi. Orde Baru, secara batasan temporal bisa didefnisikan sebagai sebuah rezim politik yang berkuasa di Indonesia semenjak tahun 1966-1998. Orde baru adalah istilah yang diciptakan oleh orde itu sendiri untuk menandai kelahiran corak politik yang “baru” dan dipisahkan oleh transisi tegas atas orde sebelumnya (orde demokrasi terpimpin) yang disebut sebagai “orde lama”. Sebagai kesimpulannya, Orde baru bukan terminologi yang bersifat postvaktum tetapi melahirkan sebuah terminologi postvaktum atas orde demokrasi terpimpin.
Dark Territory: The Secret History of Cyber War Satrio Dwicahyo
Lembaran Sejarah Vol 14, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (168.727 KB) | DOI: 10.22146/lembaran-sejarah.45440

Abstract

Benteng Bescherming di Cirebon: Konteks Politik, Fitur Fisik, dan Fungsinya pada Akhir Abad Ke-17 Dwicahyo, Satrio
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 22 No. 1 (2021): April
Publisher : Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52829/pw.299

Abstract

Lebih dari sekadar benda mati, sebuah benteng adalah representasi bendawi dari kehadiran sebuah kekuatan di suatu wilayah. Pada kurun tahun 1681-1835, Cirebon adalah rumah bagi sebuah benteng bernama Bescherming (perlindungan) yang dibangun oleh Maskapai Dagang Hindia Timur milik Belanda atau VOC. Sebab benteng ini sudah tak lagi berwujud, belum ada studi rinci yang merekonstruksi karakteristik fisik, fungsi, dan konteks politik dari benteng yang dioperasikan sebagai symbol aliansi antara VOC dengan sultan-sultan Cirebon. Aliansi yang dimulai pada tahun 1681 tersebut disepakati antara kedua belah pihak tanpa terlebih dahulu terlibat dalam konflik militer. Studi ini mengajukan bahwa Benteng Bescherming telah ada di Cirebon sejak tahun 1681 dalam bentuk pagger (benteng bambu). Catatan-catatan mengenai benteng ini di tahun-tahun setelahnya mengindikasikan bahwa benteng ini mengalami renovasi-renovasi. Meskipun pada dasarnya sebuah benteng adalah sarana pertahanan, BentengBescherming lebih merupakan kantor politik VOC di Cirebon untuk mengawasi komitmen para sultan terhadap aliansi VOC-Cirebon.
Pembentukan Dinas Penyelaman Angkatan Laut Republik Indonesia Pasca Konferensi Meja Bundar, 1949-1952 Dwicahyo, Satrio
Lembaran Sejarah Vol 21, No 1 (2025)
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/lembaran-sejarah.103991

Abstract

Artikel ini mengkaji pendirian dinas penyelaman angkatan laut TNI-AL yang terjadi sebagai salah satu konsekuensi dari Konferensi Meja Bundar (KMB) dari pendekatan teknosains pasca-kolonial. KMB sebagai peristiwa transisi politik telah menciptakan sebuah ruang negosiasi antara Belanda dengan Republik Indonesia Serikat dalam menentukan pembangunan republik yang baru mendapatkan pengakuan secara lebih luas. Salah satu bentuk negosiasi tersebut adalah pemberian izin bagi angkatan laut Kerajaan Belanda untuk melaksanakan program asistensi kepada angkatan laut Republik Indonesia Serikat, salah satunya dalam pendampingan pembentukan dinas penyelam. Program asistensi ini kemudian terbentuk menjadi sebuah konteks di mana dialog pasca-kolonial terkait pemanfaatan teknologi, dalam hal ini teknologi penyelaman militer. Dengan mengakses sumber-sumber primer yang diproduksi oleh tim pendampingan KM yang bertugas di Indonesia pada tahun 1950-1954, artikel ini menunjukkan bahwa proses pengenalan teknologi penyelaman militer oleh KM diwarnai oleh negosiasi dan kontestasi yang berkenaan dengan upaya-upaya mendefinisikan bagaimana teknologi seharusnya digunakan dalam konteks pasca-kolonial hingga kedaulatan di wilayah yang tidak dihuni oleh manusia yaitu dunia bawah air.