Pendidikan Geografi
Vol 11, No 21 (2013)

PENGARUH SANITASI LINGKUNGAN DAN PERILAKU SEHAT SANTRI TERHADAP KEJADIAN SKABIES DI PONDOK PESANTREN KABUPATEN PASURUAN JAWA TIMUR

Kuspriyanto, (Unknown)



Article Info

Publish Date
01 Jun 2013

Abstract

Abstrak :  Skabies dikenal sebagai penyakit gudiken yang sangat menular terhadap siapa saja baik anak-anak, muda, dewasa maupun tua. Penyakit kulit yang disebabkan oleh mikro-organisme (mite) Sacraptes scabiei var haminis yang membuat terowongan didalam kulit; mengakibatkan rasa gatal yang hebat dan dapat menimbulkan infeksi sekunder, masih dijumpai di pondok pesantren. Infestasi scabiei pada orang dapat dicegah apabila kondisi hunian memenuhi syarat kesehatan, dan perilaku yang sehat penghuninya.   Kata kunci : Skabies, perilaku sehat   PENDAHULUAN Skabies merupakan penyakit kulit menular yang dapat terjadi di mana saja dan terhadap siapa saja. Penyakit ini disebabkan Infestasi scabiei var hominis melakukan kontak langsung maupun tidak langsung maupun tidak langsung (Sungkar, 1997). Penderita mengeluh rasa gatal yang menghebat pada malam hari dan kemudian timbul erupsi kulit pada tempat-tempat predileksi, terutama bagian kulit yang tipis, llipatan dan sabagainya. Akibat samping dari scabies adalah timbulnya infeksi sekunder yang lebih parah dan akan menggangu produktivitas kerja penderitanya serta menularlkannya kepada orang lain (Harahap, 2000). Salah satu tempat untuk mempersiapkan generasi mendatang adalah pondok pesantren. Tempat ini menyediakan tempat pemondokan kepada santri-santrinya selama menempuh pendidikan. Berdasarkan UU RI No. 23/1992 tentang kesehatan ; pemerintah dalam hal ini petugas di bidang kesehatan lingkungan melaksana-kan kegiatan berupa pengawasan dan pembinaan terhadap tempat-tempat umum, termasuk didalamnya adalah pondok pesantren. Oleh karema itu diterbitkan syarat dan standar kesehatan lingkungan tempat-tempat umum (Depkes RI, 1993). Hasil observasi awal di pondok-pondok pesantren wilayah kabupaten Pasuruan diperoleh data masih tingginya prevalensi scabies yaitu 64%. Kemungkinan masih tingginya privalensi scabies tersebut karena kurang baiknya sanitasi dasar di lingkungan pondok pesantren  atau kemungkinan masih kurang baiknya perilaku sehat santrinya. Dari uraian tersebut di atas, rumusan masalahnya adalah 1) apakah ada pengaruh faktor-faktor  sanitasi dasar lingkungan pondok pesantren terhadap kejadian scabies ?; 2) apakah ada pengaruh perilaku sehat santri terhadap kejadian scabies?; 3) faktor-faktor apa saja yang paling berpengaruh terhadap kejadian scabies?   METODE PENELITIAN Dengan menggunakan cara acak bertahap (multi stage random sampling) dan rumus besar sampel oleh Lemeshow (1997), diperoleh jumlah sampel sebesar 288 santri yang menyabar di 6 pondok pesantren. Sedangkan penentuan sakit scabies melalui keluhan santri berupa gejala-gejala khas awal dari scabies dan diperkuat adanya pemeriksaan kanal (terowongan) pada kulit penderita oleh dokter. Sedangkan variabel-variabel yang diteliti adalah variabel independen yang kemungkinan dapat mempengaruhi terjadinya scabies meliputi : penyediaan air bersih, kepadatan hunian, kondisi ruang, ventilasi ruang dan tata ruang, serta perilaku sehat, lama tinggal dan umur santri. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian scabies. Untuk menganalisis pengaruh faktor resiko terhadap efek, digunakan uji statistik regresi logistik sederhana dan regresi logistik ganda. HASIL DAN PEMBAHASAN Dengan dasar data variabel dependen bersifat dikotomus (sehat dan sakit scabies) maka cara analisis yang digunakan adalah uji statistik regresi logistik sederhana dan regresi logistik ganda.   Pengaruh penyediaan air bersih terhadap kejadian scabies Di dalam penelitian ini penyaediaan air bersih dibagi dalam dua kategori berdasarkan sumber air yaitu sumber air berasal dari sungai dan sumur pompa/gali. Dari data yang diperoleh dilapangan, sebagian besar santri manggunakan air sungai sebagai sumber air bersih (72,9%) dan hanya 27,1% yang menggunakan sumur pompa/gali. Sedangkan hasil perhitungan regresi logistik sederhana, insiden scabies yang menggunakan air sungai mencapai 59% dengan nilai probabilitas (p) sebesar 0,020 berarti < α = 0,05 dan odds ratio 0,536.Dengan demikian penyediaan air bersih berpengaruh terhadap kejadian scabies. Dari odds ratio sebesar 0,536 berarti santri yang menggunakan air sungai kemungkinan terkena scabies sebesar 1/ 0,536 (1,866 = 2) kali lebih besar dari santri yang menggunakan air sumur. Penyediaan air bersih yang kurang baik kualitas maupun kuantitas merupakan pendukung di dalam scabies, sebab S.scabiei organisme penyebab scabies akan mati dan hilang apabila tersedia air dengan baik dan cukup. Sedangkan sungai pada umumnya tempat pembuangan berbagai limbah, karena itu pemanfaatan sungai secara langsung sebagai sumber air baik hanya untuk MCK apalagi untuk memasak dan minum mengandung resiko untuk terkena penyakit.     Pengaruh kepadatan hunian terhadap kejadian scabies Kepadatan hunian adalah perbandingan antara luas lantai yang ditempati untuk tidur setiap santri. Berdasarkan persyaratan kesehatan pemondokan hunian yang baik sebesar ≥ 4 m2 / jiwa. Dalam kenyataan, kepadatan hunian ruangan/bilik pemondokan rata-rata sebesar 1,51 m2 / jiwa. Dengan demikian pemondokan di pondok pesantren masih tergolong padat. Dalam hubungannya dengan kejadian scabies, dengan analisis regresi logistik sederhana diperoleh nilai p = 0,000 berarti < 0,05 dan  odds ratio = 0,072. Dari angka p = 0,000 < 0,05 membuktikan kepadatan hunian mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kejadian skabies. Sedangkan odds ratio sebesar 0,072 mempunyai arti bahwa santri yang menempati bilik dengan kepadatan < 4 m2 / jiwa mempunyai resiko 1/0,072 (13,89 = 14) kali lebih besar terkena scabies dibanding santri yang menempati ruangan/bilik yang tidak padat (≥ 4 m2 / jiwa). Variabel kepadatan hunian mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kejadian skabies. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dengan kepadatan hunian yang tinggi akan mengakibatkan kontak langsung antar penghuni sangat besar. Apabila dalam satu ruang/bilik terdapat penderita skabies, kemungkinan untuk tertular sangat besar sebab kontak langsung antar penghuni juga sangat besar.   Pengaruh ventilasi ruang terhadap kejadian skabies Ventilasi ruangan adalah lubang angin yang selalu berhubungan dengan udara luar, berfungsi sebagai perputaran udara dalam ruangan (bukan jendela ataupun pintu). Lubang ventilasi dihitung berdasarkan persentase dengan luas lantai. Berdasarkan ketentuan persyaratan kesehatan, ventilasi yang baik adalah antara 7-15% dari luas lantai. Dari hasil penelitian, rata-rata luas ventilasi ruangan di pondok pesantren dibawah minimal yang ditetapkan oleh Depkes yaitu 6,69% dari luas lantai. Dalam hubugannya dengan insiden skabies dengan ventilasi, diperoleh angka perhitungan p = 0,000 dan odds ratio = 0,363. Dengan p = 0,000 berati < 0,05 maka antara ventilasi dengan kejadian scabies terdapat hubungan yang bermakna. Sedangkan angka odds ratio sebesar 0,363 berarti santri yang menempati ruang berventilasi kurang baik (< 7% dari luas lantai) mempunyai resiko terkena skabies sebesar 1/0,363 (2,7 = 3) kali lebih besar disbanding dengan santri yang menempati ruangan dengan ventilasi yang cukup (> 7% dari luas lantai). Hal tersebut dapat dijelaskan, bahwa ruangan dengan ventilasi yang kurang kondisi udara dalam ruang tidak terdapat sirkulasi yang baik. Adanya sirkulasi yang tidak baik, ruangan menjadi panas dan penhuninya akan berkeringat. Jika dalam ruangan tersebut terdapat penderita skabies kemungkinan akan menularkannya lebih besar yaitu melalui kontak langsung.   Pengaruh Kondisi Ruang Terhadap Kejadian Skabies Kondisi ruangan dalam penelitian ini adalah rata-rata  kelembaban relative ruang (dalam satuan %) yang dapat diketahui dengan alat hygrometer. Dalam ketentuan ruagan dengan kelembaban relative > 60% dikatakan lembab dan 40-60% normal serta < 40% kering. Dari hasil pengukuran rata-rata kelembaban relative ruangan di pondok pesantren sedikit diatas 60% yaitu 62,25%. Hasil perhitungan uji statistik diperoleh nilai p = 0,003 dengan odds-ratio sebesar 0,457. Dengan nilai p = 0,003 < 0,05 berarti terdapat hubungan yang bermakna antara kondisi ruangan dengan kejadian skabies. Sedangkan nilai odds-ratio sebesar 0,457 berarti santri yang menempati ruangan yang lembab (> 60%) kemungkinan untuk terkena skabies 1/0,457 atau (2,188 = 2) kali lebih besar disbanding dengan santri yang menempati ruangan yang normal (40-60%). Seperti juga keadaan ventilasi, ruangan yang lembab bukan faktor yang berdiri sendiri tanpa sebab lain. Oleh sebab itu variabel ini dipengaruhi juga faktor lain seperti keadaan iklim setempat, kondisi ventilasi ruangan, tingkat kepadatan  ruangan, intentas sinar matahari yang masuk dalam ruangan dan sebagaimya. Namun dalam hubungannya kejadian skabies, sama seperti ventilasi, hanya yang perlu diprthatikan bahwa masa hidup Scabies akan lebih lama di luar kulit manusia apabila kondisi ruangan lembab mencapai 19 hari, sedangkan dalam kondisi biasa (normal) tungau (mite) ini hanya tahan diluar kulit manusia selama 2-3 hari (Kusmarinah dan Siti Aisyah 1985; Harahap, 1988). Dengan masa hidup diluar kulit lebih panjang, maka organism ini dapat leluasa pindah ke orang lain. Pengaruh Tata Ruang Dengan Kejadian Skabies Tata ruang merupakan kelengkapan suatu pemondokan, pemondokan yang sehat terdiri atas pembagian ruang berdasarkan fungsinya antara lain terdiri atas ruang tidur, ruang belajar, gudang, kamar mandi/WC, dapur dengan konstruksi yang kuat dan baik. Dalam penelitian ini, kategori tata ruang dilihat dari fungsi atau tidaknya tata ruang yang ada, sebab rata-rata ruang/bilik yang ada di pondok pesantren sudah ada tata ruangnya. Dari hasil uji statistik ternyata tata ruang dan fungsinya tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian skabies, karena nilai p = 0,981 dengan odds ratio sebesar 1,007. Dengan nilai p = 0,981 > 0,05 berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tata ruang dengan kejadian skabies. Sedangkan angka odds ratio sebesar 1,007 berarti 1/1,007 = 0,993 sehingga antara santri yang menempati bilik dengan tata ruang maupun tidak ada tata ruang risikonya 1 : 1 atau sama saja terhadap kejadian skabies. Variabel ini perannya sangat kecil dalam hubungannya dengan kejadian skabies sebab variabel ini akan berperan apabila diikuti variabel-variabel yang lain seperti adanya peraturan pondok, kebiasaan tidur, kebiasaan belajar dan sebagainya.   Pengaruh Perilaku Sehat Terhadap Kejadian Skabies Perilaku sehat yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tindakan sehari-hari yang dilakukan oleh santri dalam mencegah terjadinya skabies, menjaga kesehatan diri dan pengobatan yang baik. Perilaku sehat ini dapat diketahui melalui jawaban santri yang diperoleh dari sejumlah pertanyaan yang diajukan dengan kuesioner kemudian dikategorikan dalam perilaku sehat dan kurang sehat. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa perilaku sehat santri di dalam mencegah, menghadapi skabies serta pengobatannya pada umumnya masih rendah. Dari uji statistik hubungan antara perilaku sehat dengan kejadian skabies diperoleh nilai p = 0,000 dan odds-ratio sebesar 0,301. Dengan nilai p =  0,000 < 0.05 berarti perilaku sehat dengan kejadian skabies terhadap hubungan yang bermakna, dan nilai odds ratio sebasar 0,301 berarti perilaku yang kurang sehat mempunyai resiko 1/0,301 atau 3,32 = 3,5 kali lebih besar dibanding dengan santri yang berperilaku sehat. Faktor risiko ini berperanan penting dalam kejadian skabies baik berperan dalam mendukung terjadinya kontak langsung maupun tidak langsung. Dalam kontak langsung dapat berupa kebiasaan sehari-hari dalam mempererat tali silaturohmi sesama santri berupa salam dengan berjabat tangan pada saat bertemu maupun sesudah melaksanakan ibadah sholat. Sedangkan tidak langsung berupa kebiasaan pinjam-meminjam pakaian, handuk, perlengkapan sholat atau peralatan yang lainnya. Kebiasaan lainnya adalah menjaga kesehatan diri maupun tempat tinggalnya (ruangan) seperti cara mandi, mencuci, menjemur perlengkapan dan alat tidur dan sebagainya masih belum mencapai apa yang diharapkan. Sedangkan cara pengobatan skabies masih belum baik seperti misalnya apabila dalam satu ruangan ada penderita seharusnya penghuni lainnya juga perlu diobati, pemberian obat cukup sekali, dalam praktenya sampai berkali-kali.   Pengaruh Lama Tinggal Santri Terhadap Kejadian Skabies Variabel lama tinggal dihitung dari sejak kapan santri terdaftar dan tinggal di pemondokan sampai dengan pelaksanaan penelitian dalam satuan tahun. Dengan perhitungan tersebut, lama tinggal dibagi dalam dua kategori, yaitu santri baru (≤ 1 tahun) dan santri lama ( > 1 tahun). Dengan uji statistik regresi logistik diperoleh nilai p sebesar 0,000 < 0,05 dan nilai odds-ratio sebesar 0.302. Dengan nilai p sebesar 0,000 < 0,05 maka antara lama tinggal santri dengan kejadian skabies terdapat hubungan yang bernakna. Dengan nilai odds-ratio sebesar 0,302 berarti santri yang baru tinggal < 1 tahun mempunyai ratio terkena skabies 1/0,302 atau 3,5 kali lebih besar daripada santri yang sudah lebih lama ( > 1 tahun). Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa santri yang baru saja tinggal di pondok pensantren tentu menghadapi hal yang baru dan kemungkinan sangat berbeda dengan waktu masih tinggal bersama orang tua atau tempat lain. Dengan demikian perlu adaptasi lingkungan pondok yang sama sekali baru baginya. Kecepatan adaptasi santri yang baru  tinggal tersebut lebih lambat dengan kecepatan menularnya berbagai masalah kesehatan dalam  hal ini skabies. Oleh sebab itu skabies atau gudiken bukan merupakan trade-mark atau identik dengan pondok pesantren, yang sebenarnya dapat dicegah penularannya. Sedangkan santri yang sudah lama tinggal kemungkinan sudah kebal terhadap skabies ataupun sudah tahu cara yang ampuh untuk menghadapinya.   Pengaruh Umur Santri Terhadap Kejadian Skabies   Di dalam pondok pada umumnya berisi santri usia sekolah, yaitu dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) bahkan perguruan tinggi (PT). Pembagian umur dalam penelitian ini terdiri atas kelompok anak-anak (≤ 13 tahun), remaja (14-16 tahun), muda dewasa (17-19 tahun) dan dewasa (> 19 tahun). Dengan menggunakan uji regresi logistik sederhana, ternyata hubungan antara umur santri dengan kejadian skabies tidak bermakna, karena p = 0,972 > 0,05 dengan odds-ratio  1,004. Dengan demikian berdasarkan uji statistik ternyata faktor umur santri tidak berpengaruh terhadap kejadian skabies. Kenyataan ini membuktikan bahwa skabies tidak pandang bulu terhadap umur, sehingga dapat menyerang siapa saja. Untuk mengetahui faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian skabies, maka dilakukan uji statistik regresi logistik ganda. Dari 8 variabel yang kemungkinan dapat berpengaruh terhadap kejadian skabies ternyata ada 6 variabel yang dapat dimasukkan dalam uji statistik regresi logistik ganda, dan diperoleh hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 1.   Tabel 1.Uji Statistik Regresi Logistik Ganda Tahapan Variabel ᵦ S.E. Wald df P Odds-ratio Step 4 HUNIAN 1) -2.305 .469 24.197 1 .000 -100   PERILAKU 1) .685 .281 5.603 1 .018 .514   LAMA TING1) .859 .274 9.817 1 .002 .423   Constant 2.596 .472 30.262 1 .000 13.411         (Tabel tersebut di atas diperoleh dari print-out computer paket statistik uji) Dari perhitungan uji regresi logistik ganda, dapat diketahui bahwa : 1.    Variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian skabies adalah kepadatan hunian (p – 0,000, lama tinggal santri (p - 0,002), dan perilaku sehat santri (p – 0,008). 2.    Odds-ratio ke tiga variabel sebagai berikut : a)    Kepadatan hunian (0,100) artinya santri yang tinggal di pondok yang padat kemungkinan untuk terkena skabies 1/0,100 = 10 kali lebih besar daripada santri yang tinggal di pondok tidak padat. b)   Lama tinggal (0,423) artinya santri yang tinggal belum lama (baru ≤ 1 tahun) kemungkinan untuk terkena skabies 1/0,423 = 2 kali lebih besar daripada santri yang sudah lama tinggal c)    Perilaku sehat (0,514) artinya santri yang berperilaku kurang sehat kemungkinan untuk terkena skabies 1/0,514 = 2 kali lebih besar daripada santri yang berperilaku sehat. 3.    Dengan melihat nilai   pada table di atas, dapat ditulis dalam bentuk model sebagai berikut : g (x) =  -2,596 (konstanta) + 2,305 (hunian) + 0,859 (lama tinggal) + 0,665 (perilaku) Untuk mengetahui nilai probabilitas seseorang akan sehat atau sakit skabies maka dapat dimasukkan kondisi orang tersebut pada model di atas, dan nilai probabilitasnya dihitung dengan persamaan sebagai berikut :  P(x)    = 1 : { 1 + e-g(x)} = 1 : { 1 + (-2,596+2,305 (hunian) + 0,859 (lama tinggal) + 0,665 (perilaku)}             = 1 : { 1 + 3,9036}             = 1 : 4,9036             = 0,2039 Artinya santri yang menempati bilik yang padat, berperilaku tidak sehat dan lama tinggal kurang dari 1 tahun, probabilitasnya 0,2039 (berpeluang untuk terkena scabies).   KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.    Insiden scabies di pondok pesantren masih cukup tinggi yaitu 54,9%. 2.    Kondisi sanitasi dasar lingkungan pondok pesantren masih rendah dan tidak      memadai sehingga sering menimbulkan masalah kesehatan antara lain masih terdapatnya kejadian scabies di pondok pesantren. 3.    Kondisi yang paling mendesak diperhatikan adalah kepadatan hunian santri dan peningkatan pendidikan kesehatan di pondok-pondok pesantren.   Saran 1.    Perlunya peningkatan sarana dan prasarana pondok dengan melibatkan pemerintah daerah melalui APBD di bidang pendidikan mengingat pondok pesantren sebagai salah satu lembaga yang mempersiapkan generasi mendatang. 2.    Partisipasi semua pihak untuk meningkatkan hidup sehat dikalangan pesantren masih sangat diperlukan melalui program Departemen Kesehatan, program bakti sosial lembaga-lembaga pendidikan tinggi. 3.    Segala bentuk partisipasi dari luar pondok tidak akan berarti apabila didalam pondok sendiri tidak berusaha untuk keluar dari masalahnya.   DAFTAR PUSTAKA Amsyari, Fuad. 1996. Membangun Lingkungan Sehat : Menyambut 50 Tahun Indonesia Merdeka. Surabaya : Airlangga University Press.   Depkes RI, 1993. Persyaratan Kesehatan Lingkungan Tempat-tempat Umum. Jakarta: Dirjen P2M dan PLP Depkes RI (hal. 29 – 34).   Depkes RI, 1995. Petunjuk Teknis Perbaikan Kualitas Air di Tempat Pendidikan Agama/Pondok Pesantren. Jakarta: Dirjen P2M dan PLP Depkes RI (hal. 1 – 4).   Harahap, M, 1998. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates.   Kusmarinah dan Siti Aisyah, 1985. Skabies. Majalah Dermatologi Venereologi Indonesia (MDVI) Th. XII No. 33 (20-27).   Lemeshow, Stanley, 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Terjemahan dari Adequacy of Sample Size in Health Studies oleh Dibyo Pramono. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hal. (57 – 60).   Riono, Pandu, 1992. Aplikasi Regresi Logistik, Jakarta : FKM-UI.   Subarniati, T., Rika, 1996. Dasar-dasar Pendidikan Kesehatan dan Perilaku, Surabaya : FKM – Universitas Airlangga.   Sungkar, Saleba, 1992. Cara Pemeriksaan Kerokan Kulit Untuk Menegakkan Diagnosis Skabies, Medika No. 7 Th. 18, 31 Juli 1992. (60 – 62).   _____________, 1997. Skabies. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 47 No. 1, Januari 1997 (hal. 33 – 42).

Copyrights © 2013