Abstrak : Skabies
dikenal sebagai penyakit gudiken yang sangat menular terhadap siapa saja baik
anak-anak, muda, dewasa maupun tua. Penyakit kulit yang disebabkan oleh
mikro-organisme (mite) Sacraptes scabiei var haminis yang membuat terowongan
didalam kulit; mengakibatkan rasa gatal yang hebat dan dapat menimbulkan
infeksi sekunder, masih dijumpai di pondok pesantren. Infestasi scabiei pada
orang dapat dicegah apabila kondisi hunian memenuhi syarat kesehatan, dan
perilaku yang sehat penghuninya.
Kata kunci : Skabies, perilaku sehat
PENDAHULUAN
Skabies merupakan penyakit kulit menular yang dapat
terjadi di mana saja dan terhadap siapa saja. Penyakit ini disebabkan Infestasi
scabiei var hominis melakukan kontak langsung maupun tidak langsung maupun
tidak langsung (Sungkar, 1997). Penderita mengeluh rasa gatal yang menghebat
pada malam hari dan kemudian timbul erupsi kulit pada tempat-tempat predileksi,
terutama bagian kulit yang tipis, llipatan dan sabagainya. Akibat samping dari
scabies adalah timbulnya infeksi sekunder yang lebih parah dan akan menggangu
produktivitas kerja penderitanya serta menularlkannya kepada orang lain
(Harahap, 2000).
Salah satu tempat untuk mempersiapkan generasi
mendatang adalah pondok pesantren. Tempat ini menyediakan tempat pemondokan
kepada santri-santrinya selama menempuh pendidikan. Berdasarkan UU RI No.
23/1992 tentang kesehatan ; pemerintah dalam hal ini petugas di bidang
kesehatan lingkungan melaksana-kan kegiatan berupa pengawasan dan pembinaan
terhadap tempat-tempat umum, termasuk didalamnya adalah pondok pesantren. Oleh
karema itu diterbitkan syarat dan standar kesehatan lingkungan tempat-tempat
umum (Depkes RI, 1993).
Hasil
observasi awal di pondok-pondok pesantren wilayah kabupaten Pasuruan diperoleh
data masih tingginya prevalensi scabies yaitu 64%. Kemungkinan masih tingginya
privalensi scabies tersebut karena kurang baiknya sanitasi dasar di lingkungan
pondok pesantren atau kemungkinan masih
kurang baiknya perilaku sehat santrinya.
Dari uraian tersebut di atas, rumusan masalahnya adalah 1) apakah ada pengaruh
faktor-faktor sanitasi dasar lingkungan
pondok pesantren terhadap kejadian scabies ?; 2) apakah ada pengaruh perilaku
sehat santri terhadap kejadian scabies?; 3) faktor-faktor apa saja yang paling
berpengaruh terhadap kejadian scabies?
METODE PENELITIAN
Dengan menggunakan cara acak bertahap (multi stage random sampling) dan rumus
besar sampel oleh Lemeshow (1997), diperoleh jumlah sampel sebesar 288 santri
yang menyabar di 6 pondok pesantren. Sedangkan penentuan sakit scabies melalui
keluhan santri berupa gejala-gejala khas awal dari scabies dan diperkuat adanya
pemeriksaan kanal (terowongan) pada kulit penderita oleh dokter.
Sedangkan variabel-variabel yang diteliti adalah
variabel independen yang kemungkinan dapat mempengaruhi terjadinya scabies
meliputi : penyediaan air bersih, kepadatan hunian, kondisi ruang, ventilasi
ruang dan tata ruang, serta perilaku sehat, lama tinggal dan umur santri.
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian scabies. Untuk menganalisis pengaruh faktor resiko
terhadap efek, digunakan uji statistik regresi logistik sederhana dan regresi logistik
ganda.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dengan dasar data variabel dependen bersifat
dikotomus (sehat dan sakit scabies) maka cara analisis yang digunakan adalah uji statistik regresi logistik sederhana dan regresi logistik ganda.
Pengaruh
penyediaan air bersih terhadap kejadian scabies
Di dalam penelitian ini penyaediaan air bersih
dibagi dalam dua kategori berdasarkan sumber air yaitu sumber air berasal dari
sungai dan sumur pompa/gali. Dari data yang diperoleh dilapangan, sebagian
besar santri manggunakan air sungai sebagai sumber air bersih (72,9%) dan hanya
27,1% yang menggunakan sumur pompa/gali.
Sedangkan hasil perhitungan regresi logistik
sederhana, insiden scabies yang menggunakan air sungai mencapai 59% dengan
nilai probabilitas (p) sebesar 0,020 berarti < α = 0,05 dan odds ratio
0,536.Dengan demikian penyediaan air bersih berpengaruh terhadap kejadian
scabies. Dari odds ratio sebesar 0,536 berarti santri yang menggunakan air
sungai kemungkinan terkena scabies sebesar 1/ 0,536 (1,866 = 2) kali lebih
besar dari santri yang menggunakan air sumur. Penyediaan air bersih yang kurang
baik kualitas maupun kuantitas merupakan pendukung di dalam scabies, sebab
S.scabiei organisme penyebab scabies akan mati dan hilang apabila tersedia air
dengan baik dan cukup.
Sedangkan
sungai pada umumnya tempat pembuangan berbagai limbah, karena itu pemanfaatan
sungai secara langsung sebagai sumber air baik hanya untuk MCK apalagi untuk
memasak dan minum mengandung resiko untuk terkena penyakit.
Pengaruh kepadatan hunian terhadap
kejadian scabies
Kepadatan hunian adalah perbandingan antara luas
lantai yang ditempati untuk tidur setiap santri. Berdasarkan persyaratan
kesehatan pemondokan hunian yang baik sebesar ≥ 4 m2 / jiwa. Dalam
kenyataan, kepadatan hunian ruangan/bilik pemondokan rata-rata sebesar 1,51 m2
/ jiwa. Dengan demikian pemondokan di pondok pesantren masih tergolong padat.
Dalam hubungannya dengan kejadian scabies, dengan
analisis regresi logistik sederhana diperoleh nilai p = 0,000 berarti < 0,05
dan odds ratio = 0,072. Dari angka p =
0,000 < 0,05 membuktikan kepadatan hunian mempunyai hubungan yang bermakna
terhadap kejadian skabies. Sedangkan odds ratio sebesar 0,072 mempunyai arti
bahwa santri yang menempati bilik dengan kepadatan < 4 m2 / jiwa
mempunyai resiko 1/0,072 (13,89 = 14) kali lebih besar terkena scabies
dibanding santri yang menempati ruangan/bilik yang tidak padat (≥ 4 m2
/ jiwa).
Variabel kepadatan hunian mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan kejadian skabies. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dengan
kepadatan hunian yang tinggi akan mengakibatkan kontak langsung antar penghuni
sangat besar. Apabila dalam satu ruang/bilik terdapat penderita skabies,
kemungkinan untuk tertular sangat besar sebab kontak langsung antar penghuni
juga sangat besar.
Pengaruh ventilasi ruang terhadap
kejadian skabies
Ventilasi ruangan adalah lubang angin yang selalu
berhubungan dengan udara luar, berfungsi sebagai perputaran udara dalam ruangan
(bukan jendela ataupun pintu). Lubang ventilasi dihitung berdasarkan persentase
dengan luas lantai. Berdasarkan ketentuan persyaratan kesehatan, ventilasi yang
baik adalah antara 7-15% dari luas lantai.
Dari hasil penelitian, rata-rata luas ventilasi
ruangan di pondok pesantren dibawah minimal yang ditetapkan oleh Depkes yaitu
6,69% dari luas lantai. Dalam hubugannya dengan insiden skabies dengan
ventilasi, diperoleh angka perhitungan p = 0,000 dan odds ratio = 0,363. Dengan
p = 0,000 berati < 0,05 maka antara ventilasi dengan kejadian scabies
terdapat hubungan yang bermakna. Sedangkan angka odds ratio sebesar 0,363
berarti santri yang menempati ruang berventilasi kurang baik (< 7% dari luas
lantai) mempunyai resiko terkena skabies sebesar 1/0,363 (2,7 = 3) kali lebih
besar disbanding dengan santri yang menempati ruangan dengan ventilasi yang
cukup (> 7% dari luas lantai).
Hal tersebut dapat dijelaskan, bahwa ruangan dengan
ventilasi yang kurang kondisi udara dalam ruang tidak terdapat sirkulasi yang
baik. Adanya sirkulasi yang tidak baik, ruangan menjadi panas dan penhuninya
akan berkeringat. Jika dalam ruangan tersebut terdapat penderita skabies
kemungkinan akan menularkannya lebih besar yaitu melalui kontak langsung.
Pengaruh Kondisi Ruang Terhadap
Kejadian Skabies
Kondisi ruangan dalam penelitian ini adalah
rata-rata kelembaban relative ruang
(dalam satuan %) yang dapat diketahui dengan alat hygrometer. Dalam ketentuan ruagan dengan kelembaban relative >
60% dikatakan lembab dan 40-60% normal serta < 40% kering. Dari hasil
pengukuran rata-rata kelembaban relative ruangan di pondok pesantren sedikit
diatas 60% yaitu 62,25%. Hasil perhitungan uji statistik diperoleh nilai p =
0,003 dengan odds-ratio sebesar 0,457.
Dengan nilai p = 0,003 < 0,05 berarti terdapat
hubungan yang bermakna antara kondisi ruangan dengan kejadian skabies.
Sedangkan nilai odds-ratio sebesar 0,457 berarti santri yang menempati ruangan
yang lembab (> 60%) kemungkinan untuk terkena skabies 1/0,457 atau (2,188 =
2) kali lebih besar disbanding dengan santri yang menempati ruangan yang normal
(40-60%).
Seperti juga keadaan ventilasi, ruangan yang lembab
bukan faktor yang berdiri sendiri tanpa sebab lain. Oleh sebab itu variabel ini
dipengaruhi juga faktor lain seperti keadaan iklim setempat, kondisi ventilasi
ruangan, tingkat kepadatan ruangan,
intentas sinar matahari yang masuk dalam ruangan dan sebagaimya. Namun dalam
hubungannya kejadian skabies, sama seperti ventilasi, hanya yang perlu
diprthatikan bahwa masa hidup Scabies akan lebih lama di luar kulit manusia
apabila kondisi ruangan lembab mencapai 19 hari, sedangkan dalam kondisi biasa
(normal) tungau (mite) ini hanya tahan diluar kulit manusia selama 2-3 hari
(Kusmarinah dan Siti Aisyah 1985; Harahap,
1988). Dengan masa hidup diluar kulit lebih panjang, maka organism ini dapat
leluasa pindah ke orang lain.
Pengaruh Tata Ruang Dengan Kejadian
Skabies
Tata ruang merupakan kelengkapan suatu pemondokan,
pemondokan yang sehat terdiri atas pembagian ruang berdasarkan fungsinya antara
lain terdiri atas ruang tidur, ruang belajar, gudang, kamar mandi/WC, dapur
dengan konstruksi yang kuat dan baik. Dalam penelitian ini, kategori tata ruang
dilihat dari fungsi atau tidaknya tata ruang yang ada, sebab rata-rata
ruang/bilik yang ada di pondok pesantren sudah ada tata ruangnya.
Dari hasil uji statistik ternyata tata ruang dan
fungsinya tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian skabies,
karena nilai p = 0,981 dengan odds ratio sebesar 1,007. Dengan nilai p = 0,981
> 0,05 berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tata ruang dengan
kejadian skabies. Sedangkan angka odds ratio sebesar 1,007 berarti 1/1,007 = 0,993
sehingga antara santri yang menempati bilik dengan tata ruang maupun tidak ada
tata ruang risikonya 1 : 1 atau sama saja terhadap kejadian skabies. Variabel
ini perannya sangat kecil dalam hubungannya dengan kejadian skabies sebab
variabel ini akan berperan apabila diikuti variabel-variabel yang lain seperti
adanya peraturan pondok, kebiasaan tidur, kebiasaan belajar dan sebagainya.
Pengaruh Perilaku Sehat Terhadap
Kejadian Skabies
Perilaku sehat yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah tindakan sehari-hari yang dilakukan oleh santri dalam mencegah
terjadinya skabies, menjaga kesehatan diri dan pengobatan yang baik. Perilaku
sehat ini dapat diketahui melalui jawaban santri yang diperoleh dari sejumlah
pertanyaan yang diajukan dengan kuesioner kemudian dikategorikan dalam perilaku
sehat dan kurang sehat. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa perilaku
sehat santri di dalam mencegah, menghadapi skabies serta pengobatannya pada
umumnya masih rendah.
Dari uji statistik hubungan antara perilaku sehat
dengan kejadian skabies diperoleh nilai p = 0,000 dan odds-ratio sebesar 0,301.
Dengan nilai p = 0,000 < 0.05 berarti
perilaku sehat dengan kejadian skabies terhadap hubungan yang bermakna, dan
nilai odds ratio sebasar 0,301 berarti perilaku yang kurang sehat mempunyai
resiko 1/0,301 atau 3,32 = 3,5 kali lebih besar dibanding dengan santri yang
berperilaku sehat.
Faktor risiko ini berperanan penting dalam kejadian
skabies baik berperan dalam mendukung terjadinya kontak langsung maupun tidak
langsung. Dalam kontak langsung dapat berupa kebiasaan sehari-hari dalam
mempererat tali silaturohmi sesama santri berupa salam dengan berjabat tangan
pada saat bertemu maupun sesudah melaksanakan ibadah sholat. Sedangkan tidak
langsung berupa kebiasaan pinjam-meminjam pakaian, handuk, perlengkapan sholat
atau peralatan yang lainnya. Kebiasaan lainnya adalah menjaga kesehatan diri
maupun tempat tinggalnya (ruangan) seperti cara mandi, mencuci, menjemur perlengkapan
dan alat tidur dan sebagainya masih belum mencapai apa yang diharapkan.
Sedangkan cara pengobatan skabies masih belum baik seperti misalnya apabila
dalam satu ruangan ada penderita seharusnya penghuni lainnya juga perlu
diobati, pemberian obat cukup sekali, dalam praktenya sampai berkali-kali.
Pengaruh Lama Tinggal Santri
Terhadap Kejadian Skabies
Variabel lama tinggal dihitung dari sejak kapan
santri terdaftar dan tinggal di pemondokan sampai dengan pelaksanaan penelitian
dalam satuan tahun. Dengan perhitungan tersebut, lama tinggal dibagi dalam dua
kategori, yaitu santri baru (≤ 1 tahun) dan santri lama ( > 1 tahun).
Dengan uji statistik regresi logistik diperoleh
nilai p sebesar 0,000 < 0,05 dan nilai odds-ratio sebesar 0.302. Dengan
nilai p sebesar 0,000 < 0,05 maka antara lama tinggal santri dengan kejadian
skabies terdapat hubungan yang bernakna. Dengan nilai odds-ratio sebesar 0,302
berarti santri yang baru tinggal < 1 tahun mempunyai ratio terkena skabies
1/0,302 atau 3,5 kali lebih besar daripada santri yang sudah lebih lama ( >
1 tahun).
Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa santri yang baru
saja tinggal di pondok pensantren tentu menghadapi hal yang baru dan
kemungkinan sangat berbeda dengan waktu masih tinggal bersama orang tua atau
tempat lain. Dengan demikian perlu adaptasi lingkungan pondok yang sama sekali
baru baginya. Kecepatan adaptasi santri yang baru tinggal tersebut lebih lambat dengan
kecepatan menularnya berbagai masalah kesehatan dalam hal ini skabies. Oleh sebab itu skabies atau
gudiken bukan merupakan trade-mark atau
identik dengan pondok pesantren, yang sebenarnya dapat dicegah penularannya.
Sedangkan santri yang sudah lama tinggal kemungkinan sudah kebal terhadap
skabies ataupun sudah tahu cara yang ampuh untuk menghadapinya.
Pengaruh Umur Santri Terhadap Kejadian Skabies
Di dalam pondok pada umumnya berisi santri usia
sekolah, yaitu dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai sekolah lanjutan tingkat
atas (SLTA) bahkan perguruan tinggi (PT). Pembagian umur dalam penelitian ini terdiri
atas kelompok anak-anak (≤ 13 tahun), remaja (14-16 tahun), muda dewasa (17-19
tahun) dan dewasa (> 19 tahun).
Dengan menggunakan uji regresi logistik sederhana,
ternyata hubungan antara umur santri dengan kejadian skabies tidak bermakna,
karena p = 0,972 > 0,05 dengan odds-ratio
1,004. Dengan demikian berdasarkan uji statistik ternyata faktor umur
santri tidak berpengaruh terhadap kejadian skabies. Kenyataan ini membuktikan
bahwa skabies tidak pandang bulu terhadap umur, sehingga dapat menyerang siapa
saja.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang paling
berpengaruh terhadap kejadian skabies, maka dilakukan uji statistik regresi logistik
ganda. Dari 8
variabel yang kemungkinan dapat berpengaruh terhadap kejadian skabies ternyata
ada 6 variabel yang dapat dimasukkan dalam uji statistik regresi logistik
ganda, dan diperoleh hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.Uji Statistik Regresi Logistik Ganda
Tahapan
Variabel
ᵦ
S.E.
Wald
df
P
Odds-ratio
Step
4
HUNIAN
1)
-2.305
.469
24.197
1
.000
-100
PERILAKU
1)
.685
.281
5.603
1
.018
.514
LAMA
TING1)
.859
.274
9.817
1
.002
.423
Constant
2.596
.472
30.262
1
.000
13.411
(Tabel tersebut di atas diperoleh dari
print-out computer paket statistik uji)
Dari
perhitungan uji regresi logistik ganda, dapat diketahui bahwa :
1. Variabel
yang paling berpengaruh terhadap kejadian skabies adalah kepadatan hunian (p 0,000, lama tinggal santri (p - 0,002), dan
perilaku sehat santri (p 0,008).
2. Odds-ratio
ke tiga variabel sebagai berikut :
a) Kepadatan
hunian (0,100) artinya santri yang tinggal di pondok yang padat kemungkinan
untuk terkena skabies 1/0,100 = 10 kali lebih besar daripada santri yang
tinggal di pondok tidak padat.
b) Lama
tinggal (0,423) artinya santri yang tinggal belum lama (baru ≤ 1 tahun) kemungkinan
untuk terkena skabies 1/0,423 = 2 kali lebih besar daripada santri yang sudah
lama tinggal
c) Perilaku
sehat (0,514) artinya santri yang berperilaku kurang sehat kemungkinan untuk
terkena skabies 1/0,514 = 2 kali lebih besar daripada santri yang berperilaku
sehat.
3. Dengan
melihat nilai pada table di atas, dapat ditulis dalam
bentuk model sebagai berikut :
g
(x) = -2,596 (konstanta) + 2,305
(hunian) + 0,859 (lama tinggal) + 0,665 (perilaku)
Untuk
mengetahui nilai probabilitas seseorang akan sehat atau sakit skabies maka
dapat dimasukkan kondisi orang tersebut pada model di atas, dan nilai
probabilitasnya dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
P(x) = 1 : { 1 + e-g(x)}
= 1 : { 1 + (-2,596+2,305
(hunian) + 0,859 (lama tinggal) + 0,665 (perilaku)}
=
1 : { 1 + 3,9036}
=
1 : 4,9036
=
0,2039
Artinya santri yang menempati bilik
yang padat, berperilaku tidak sehat dan lama tinggal kurang dari 1 tahun,
probabilitasnya 0,2039 (berpeluang untuk terkena scabies).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Insiden
scabies di pondok pesantren masih cukup tinggi yaitu 54,9%.
2. Kondisi
sanitasi dasar lingkungan pondok pesantren masih rendah dan tidak memadai sehingga sering menimbulkan masalah
kesehatan antara lain masih terdapatnya kejadian scabies di pondok pesantren.
3. Kondisi yang paling mendesak diperhatikan adalah
kepadatan hunian santri dan peningkatan pendidikan kesehatan di pondok-pondok
pesantren.
Saran
1.
Perlunya
peningkatan sarana dan prasarana pondok dengan melibatkan pemerintah daerah
melalui APBD di bidang pendidikan mengingat pondok pesantren sebagai salah satu
lembaga yang mempersiapkan generasi mendatang.
2.
Partisipasi
semua pihak untuk meningkatkan hidup sehat dikalangan pesantren masih sangat
diperlukan melalui program Departemen Kesehatan, program bakti sosial
lembaga-lembaga pendidikan tinggi.
3.
Segala
bentuk partisipasi dari luar pondok tidak akan berarti apabila didalam pondok
sendiri tidak berusaha untuk keluar dari masalahnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Amsyari, Fuad. 1996. Membangun Lingkungan Sehat : Menyambut 50
Tahun Indonesia Merdeka. Surabaya : Airlangga University Press.
Depkes RI, 1993. Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Tempat-tempat Umum. Jakarta: Dirjen P2M dan PLP Depkes RI (hal. 29 34).
Depkes RI, 1995. Petunjuk Teknis Perbaikan Kualitas Air di
Tempat Pendidikan Agama/Pondok Pesantren. Jakarta: Dirjen P2M dan PLP
Depkes RI (hal. 1 4).
Harahap, M, 1998. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta :
Hipokrates.
Kusmarinah dan Siti Aisyah,
1985. Skabies. Majalah Dermatologi Venereologi
Indonesia (MDVI) Th. XII No. 33 (20-27).
Lemeshow, Stanley, 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan.
Terjemahan dari Adequacy of Sample Size
in Health Studies oleh Dibyo Pramono. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press. Hal. (57 60).
Riono, Pandu, 1992. Aplikasi Regresi Logistik, Jakarta :
FKM-UI.
Subarniati, T., Rika, 1996. Dasar-dasar Pendidikan Kesehatan dan
Perilaku, Surabaya : FKM Universitas Airlangga.
Sungkar, Saleba, 1992. Cara Pemeriksaan Kerokan Kulit Untuk
Menegakkan Diagnosis Skabies, Medika No. 7 Th. 18, 31 Juli 1992. (60 62).
_____________, 1997. Skabies. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 47 No. 1, Januari 1997
(hal. 33 42).