Jurnal Mahupiki
Vol 2, No 01 (2013)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA MELALUI JEJARING SOSIAL DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

M.Andri Fauzan Lubis (Unknown)



Article Info

Publish Date
01 Jul 2013

Abstract

ABSTRAK     Jejaring sosial baru-baru ini diramaikan dengan adanya pengguna akun jejaring sosial nakal yang mempostingkan penistaan terhadap agama. Alasan pemostingan itu terbilang sederhana, yakni kebebasan menyatakan pendapat, terlebih lagi medianya adalah akun pribadi di jejaring sosial. Postingan itu akhirnya memancing amarah dari pemeluk agama yang dinistakan, dan menistakan kembali agama yang dianut si pemostingnya. Pada akhirnya, keadaannya justru semakin meluas dan berimbas ke dunia nyata. Sebagai contoh, perang antar agama misalnya. permasalahan yang timbul dari hal diatas bagaimana pengaturan penistaan agama melalui jejaring sosial, bagaimana pertanggungjawaban pelaku penistaan agama melalui jejaring sosial, dan bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi penistaan agama di jejaring sosial. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode normatif dengan menggunakan data sekunder dengan bahan hukum primer, bahan hukum yang telah ada dan yang berhubungan dengan judul skripsi ini yang terdiri dari Peraturan Perundang-undangan. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku pendapat para sarjana, hasil penelitian, dan kasus-kasus hukum yang terkait dengan pembahasan judul skripsi ini. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. Bahwa penistaan agama melalui media jejaring sosial telah diatur dalam Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahwa menurut undang-undang tersebut, penistaan agama dapat dimintakan pertanggungjawabannya apabila telah memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yakni barang siapa yang telah memberikan informasi yang menimbulkan rasa benci dan permusuhan terhadap Suku, Agama, Ras, Antar golongan (SARA).Meskipun terdapat hambatan dalam menanggulangi penistaan agama melalui jejaring sosial, tetap ada upaya yang bisa dilakukan untuk menanggulanginya. Pemerintah baik dengan sarana penal, seperti membuat peraturan perundang-undangan yang baru, maupun memperluas pengaturan cybercrime dalam RUU KUHP, dan non penal,seperti pendekatan budaya dan berkerja sama dengan Internet Service Provider (ISP), dan masyarakat sekalipun bertanggungjawab dalam menanggulangi masalah ini dan mengupayakan agar kasus penistaan agama ini tak terulang kembali.

Copyrights © 2013