Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara laki-laki dan wanita maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Banyak ayat al-Qur’ân telah menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah semartabat sebagai manusia, terutama secara spiritual (Q.S. 9:112, 66:5). Namun demikian, meskipun al-Qur’ân adalah kitab suci yang kebenarannya abadi, penafsirannya tidak bisa dihindari sebagai suatu yang relatif. Perkembangan historis berbagai mazhab kalam, fiqh dan tasawuf merupakan bukti positif tentang kerelatifan penghayatan keagamaan umat Islam. Pada suatu kurun, kadar intelektualitas menjadi dominan. Pada kurun lainnya, kadar emosionalitas menjadi menonjol. Itulah sebabnya persepsi tentang wanita di kalangan umat Islam khususnya mufassir juga berubah-ubah dari zaman ke zaman. Terlepas dari pemikiran para mufasir atau tokoh-tokoh agama dalam melihat persoalan ini, di sini kita melihat kenyataan yang pernah terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam belasan abad yang silam (1641-1699). Ada beberapa perempuan tampil sebagai pemegang tampuk pemerintahan yang dikenal sebagai Sultanah (ratu). Ratu-ratu tersebut memerintah sebuah kerajaan yang besar menurut masanya yang merupakan sebuah kebenaran sejarah.
Copyrights © 2015