Beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia mengakui Perseroan Terbatas (PT) sebagai subjek hukum (legal entity). Konsekuensi logisnya, PT dapat melakukan perbuatan hukum yang menimbukan hak dan kewajiban. Apabila perbuatan hukum dimaksud adalah dalam rangka mengalihkan aset PT yang besarnya lebih dari 50% kekayaan bersih perseroan, maka persetujuan dari para pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) menjadi syarat wajib. Persoalan terjadi manakala pemegang saham mayoritas tidak bersedia hadir dalam RUPS tersebut meskipun sudah dipanggil sebanyak tiga kali. Jalan keluar yang dapat diberikan dimungkinkan melalui dua mekanisme, yaitu dengan memohonkan penetapan pengadilan untuk jumlah kuorum yang lebih kecil, atau dengan melakukan penambahan modal perseroan. Kedua mekanisme ini dilaksanakan dengan tetap mengikuti koridor hukum yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas. Dalam kasus yang digunakan sebagai ilustrasi, PT B meminta solusi dari Notaris atas problematika hukum yang ada. Namun solusi yang diberikan tidak sesuai dengan UU Perseroan Terbatas, bahkan termasuk sebagai pelanggaran UU Perseroan Terbatas yang membawa konsekuensi yuridis bagi PT B. Notaris telah melakukan pelanggaran terhadap UU Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris karena melakukan penyuluhan hukum yang tidak sesuai dengan UU Perseroan Terbatas dan berpotensi menimbulkan masalah hukum, baik secara perdata maupun pidana.
Copyrights © 2020