ABSTRAKPersoalan diskursif antara teori hermeneutika dan filsafat hermeneutika itu menjadi titik pijak yang penting bagi perbincangan tentang metode literal penerjemahan al-Qur’an dan subyektivitas sang penerjemah. Wacana penerjemahan al-Qur’an  hendak menjawab sebuah pertanyaan besar berikut: Bagaimana relevansi dari wacana teoretis penerjemahan al-Qur’an dan persoalan subyektivitas penerjemah ketika dikorelasikan dengan realitas terjemahan al-Qur’an itu sendiri? Pertanyaan besar ini sangat penting, karena memuat sebuah hipotesis bahwa terjemahan al-Qur’an, sekuat apapun metode literal yang digunakannya, sebenarnya tidak lepas sama sekali dari aktivitas enafsiran. Hipotesis ini sekaligus menguji—untuk tidak mengatakan mempertanyakan—ernyataan sejumlah ulama ahli ilmu tafsir bahwa terjemahan al-Qur’an bukan bagian dari tafsir al-Qur’an.Subyektivitas pada tahapan penetapan maknacukup relevan sebagai titik tolak dalam mengamati realitas terjemahan al-Qur’an. Meskipun menggunakan metode literal, karya-karya terjemahan al-Qur’an yang ada hingga saat ini sebenarnya sarat dengan subyektivitas pemaknaan.Adanya perbedaan penerjemahan menjadi salah satu bukti bahwa kreativitas berpikir dan inovasi pemaknaan begitu inheren dengan aktivitas penerjamahanKata Kunci: penerjemahan,  penafsiran al-qur’an
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2017