Harus diakui, memasuki usianya yang ke-14 tahun Mahkamah Konstitusi, kita masih tetap dalam fase pencarian format ideal pelembagaan MK. Sejak awal berdirinya pada tahun 2004, MK telah memberikan warna baru bagi perwujudan negara hukum di Indonesia, tidak berhenti sampai disitu, MK telah juga membuka ruang perdebatan baru yang dalam dan substantif di kalangan ahli hukum tata negara. Bagaimana tidak, kewenangan untuk membatalkan undang-undang yang dibuat oleh presiden dan DPR (lembaga negara konstitusional yang mendapat mandat lansung dari rakyat), adalah konstruksi baru yang sebelumnya tidak dikenal dan bahkan cenderung di haramkan dalam masa Trias Politika. Rumus dasarnya, bahwa masing-masing kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) itu terpisah dan tidak boleh saling mencampuri. Namun MK bukanlah tanpa cacat sama sekali, dari aspek struktur, sudah ada dua hakim MK yang saat ini mendekam di penjara karena terbukti melakukan korupsi. Ditambah lagi dengan berbagai pelanggaran etik yang dilakukan oleh beberapa hakim lain. Sedangkan dari aspek kewenangan, sudah banyak pihak yang mengkritisi beberapa keputusan MK yang dinilai tidak lagi berpihak pada keadilan. Pada mulanya, Komisi Yudisial diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan, namun melalui putusannya sendiri, MK membatalkan kewenangan tersebut sehingga saat ini, pengawasan hanya dilakukan oleh internal kelembagaan MK sendiri. Tulisan ini akan mengkaji lebih jauh urgensi pengawasan hakim MK oleh Komisi Yudisial. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode normatif.
Copyrights © 2021