Perkara gugatan cerai di Pengadilan Agama tidak serta-merta menggugurkan kewajiban suami untuk tetap memberikan nafkah iddah dan mut’ah kepada istrinya, selama pihak penggugat tidak terbukti berbuat nusyuz. Secara eksplisit Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak terdapat pasal yang menerangkan tentang kewajiban suami untuk memberikan hak kepada mantan istrinya berupa nafkah iddah dan mut’ah apabila istri menggugat cerai, namun kewajiban tersebut terdapat dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2018 yang menyebutkan bahwa dalam perkara cerai gugat, istri dapat diberikan mut’ah dan nafkah iddah sepanjang tidak terbukti nusyuz kepada suaminya. Tujuan penelitian ini mendeskripsikan hak-hak yang dapat diperoleh istri apabila terbukti tidak nusyuz ketika melakukan gugatan cerai di Pengadilan Agama dengan menelaah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 yang berkaitan terhadap kewajiban suami akibat perceraian istri, dikaji menggunakan pendekatan maqashid al-shariah Jasser Auda dengan metode yuridis normatif. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan dengan bahan hukum primernya SEMA Nomor 3 Tahun 2018 dan buku maqashid al-shariah Jasser Auda, sementara bahan hukum sekundernya yaitu UU Perkawinan, KHI, buku fiqh munakahat, artikel, jurnal yang berhubungan dengan pembahasan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan SEMA Nomor 3 Tahun 2018 sangat berperan untuk mengisi kekosongan hukum terhadap hal-hal yang belum diatur secara eksplisit dalam UU Perkawinan dan KHI, sehingga dapat memberikan kepastian hukum terkait hukum-hukum secara detail (ahkam tafsiliyyah) berupa pemberian perlindungan hukum dan jaminan atas hak-hak perempuan yang seharusnya dapat diperoleh pasca perceraian sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan dalam rangka memperoleh hak yang sama dihadapan hukum demi terciptanya kemaslahatan secara menyeluruh (maslahah al-ammah).
Copyrights © 2023