Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

MaqāShid al-Sharīah Jasser Auda Sebagai Kajian Alternatif Terhadap Permasalahan Kontemporer Ah. Soni Irawan
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 3 No 1 (2022): April
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v3i1.192

Abstract

Konsep pendekatan sistem maqāshid al-sharīah yang digagas oleh Jasser Auda dapat menjadi solusi alternatif untuk menghadapi berbagai persoalan kontemporer yang kompleks akibat perubahan ruang, waktu, budaya dan modernisasi hukum Islam, dimana fikih perbandingan madzhab (fiqh muqāranah) yang didalamnya berisikan koleksi hukum-hukum Islam dirasa masih kurang memadai dalam menjawab persoalan kontemporer yang selalu muncul di tengah masyarakat modern. Berbasis maqāshid yang telah mengalami pergeseran makna dari penjagaan, perlindungan dan pelestarian menuju kepada pengembangan dan pemuliaan hak-hak asasi manusia melalui upaya pembaruan, keterbukaan dan keluwesan hukum Islam, dirasa lebih berdaya guna dan mampu mempertahankan validitas ijtihad suatu hukum berdasarkan tingkat pencapaian tujuanya. Dalam rangka mereformasi filsafat hukum Islam melalui fungsi fitur-fitur sistem sebagaimana yang telah dioptimalkan oleh Jasser Auda, konsep maqāshid menjadi tujuan inti dari seluruh metodologi ijtihad ushul linguistik (qat’iyyah dilalah), keaslian historis (qat’iyyah al-tsubut) maupun rasional (al-qat al-mantiqi). Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan sekaligus menunjukkan proses kerja teori pendekatan sistem maqāshid al-sharīah Jasser Auda, yang terdiri atas watak kognitif (cognitif nature) menuju validasi seluruh kognisi, kemenyeluruhan (wholenes) menuju holisme, keterbukaan (openess) menuju pembaruan diri, hierarki saling berkaitan (interelated hierarchy), multidimensionalitas (multi-dimensionality) menuju ushul fiqh yang multidimensional serta kebermaksudan (purposefulness). Keenam fitur tersebut saling berhubungan dan berkaitan erat untuk membentuk suatu keutuhan sistem berfikir yang utuh dalam menghadapi problematika hukum yang masih diperdebatkan.
Transformasi Madzhab Qouli Menuju Madzhab Manhaji Jama`iy dalam Bahtsul Masa`il Imam Syafi`i; AH. Soni Irawan
Asy-Syari’ah : Jurnal Hukum Islam Vol 4 No 1 (2018): Asy-Syari'ah - Januari 2018
Publisher : Fakultas Syariah Institut Ilmu Keislaman Zainul Hasan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (154.575 KB) | DOI: 10.55210/assyariah.v4i1.99

Abstract

Among the forums to solve the problem are collectively known as 'bahtsul masa'il'. the legal decision is collective, derived from the consensus of the participants. His method of searching references (maraji ') to find answers regarding the existing problems, known as Madzhab Qauli, madzhab which is understood as the opinion or fatwa of a Mujtahid or Mufti in deciding fiqhiyyah law. However, not infrequently stagnation (maukuf) in the termination of the law. Because there are no references or books that explain the problem. As a result, if enforced (laws with existing references) result in unfair decisions and other issues for the community.From this manifestation of schools began to be considered important to be developed. That is a way to answer the problems faced by following the way of thinking and the rule of law which has been drawn up by the madzhab priest as described above. This last method is actually an attempt to decide the law by directly returning al-Qur'an, al-Hadits and so on by using tools qawa'id ushuliyyah and qawa'id fiqhiyyah. Everyone can not run this method individually. because the legal instrument of the legal system must be completely mastered. Therefore this Manhaji Method can be developed by means of ijtihad Jama'i that is the hard effort of some experts in their respective fields maximally in exploring the law of syar'i which is dhanni by using the method of istimbat. The decision is based on the agreement of the ulama or by acclamation, which is to take the most votes from the results of the deliberations. Keyword: Madzhab Qouli, Madhab Manhaji, Bahtsul Masa`il
PEMBAGIAN HARTA WARISAN PADA KELUARGA BEDA AGAMA DI DESA PANCASILA PERSPEKTIF MAQĀSHID AL-SHARĪAH JASSER AUDA (Studi di Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan) Ah. Soni Irawan; Ahmad Muzakki
Al-Hukmi : Jurnal Hukum Ekonomi Syariah dan Keluarga Islam Vol. 2 No. 1 (2021): Al-Hukmi : Jurnal Hukum Ekonomi Syari’ah dan Keluarga Islam
Publisher : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Universitas Ibrahimy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (262.942 KB) | DOI: 10.35316/alhukmi.v2i1.1211

Abstract

Praktik pembagian harta warisan pada keluarga beda agama di Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan berdalih toleransi, menjaga kerukunan antar umat beragama dalam satu keluarga, serta menjaga kearifan lokal yang dianggap sebagai solusi untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan dengan menyesuaikan adat kebudayaan masyarakat setempat, yang sekilas dipandang melanggar hadis larangan saling mewarisi antara Muslim dengan kafir. Sebagaimana data yang diperoleh dari pemerintah Desa Balun berupa daftar nama-nama keluarga beda agama dalam satu rumah terdapat 45 kartu keluarga, dari 45 kartu keluarga beda agama tersebut yang pernah melakukan praktik warisan terdapat setidaknya empat keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterlibatan non-Muslim dalam pembagian harta warisan pada keluarga beda agama di Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan perspektif Maqāshid al-Sharīah Jasser Auda. Hasil penelitian ini bahwa keterlibatan ahli waris non-Muslim dalam pembagian harta warisan jika dilihat dari teori Maqāshid al-Sharīah Jasser Auda tidak bertentangan dengan nash secara universal, karena Maqāshid al-Sharīah Jasser Auda lebih mengutamakan pada makna yang terkandung dibalik teks dengan mempertimbangkan ‘urf dari aspek historis, sosiologis dan ekonomis daripada hanya terfokus pada teks saja, disamping itu Auda juga tidak hanya melihat satu nash hukum saja dalam menentukan sebuah ijtihad hukum, melainkan melihat kolerasi antara nash satu dengan nash yang lain terhadap masalah yang sedang dibahas, demi terciptanya rasa keadilan dan kemaslahatan ditengah-tengah masyarakat untuk menuju pembagian warisan yang adil.
IMPLIKASI CERAI GUGAT TERHADAP HAK ISTRI PERSPEKTIF MAQASHID AL-SHARIAH JASSER AUDA Ah. Soni Irawan
Minhaj: Jurnal Ilmu Syariah Vol. 4 No. 2 (2023): Juli
Publisher : Lembaga Penerbitan Jurnal Ilmiah Institut Agama Islam Bani Fattah Jombang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52431/minhaj.v4i2.1828

Abstract

Perkara gugatan cerai di Pengadilan Agama tidak serta-merta menggugurkan kewajiban suami untuk tetap memberikan nafkah iddah dan mut’ah kepada istrinya, selama pihak penggugat tidak terbukti berbuat nusyuz. Secara eksplisit Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak terdapat pasal yang menerangkan tentang kewajiban suami untuk memberikan hak kepada mantan istrinya berupa nafkah iddah dan mut’ah apabila istri menggugat cerai, namun kewajiban tersebut terdapat dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2018 yang menyebutkan bahwa dalam perkara cerai gugat, istri dapat diberikan mut’ah dan nafkah iddah sepanjang tidak terbukti nusyuz kepada suaminya. Tujuan penelitian ini mendeskripsikan hak-hak yang dapat diperoleh istri apabila terbukti tidak nusyuz ketika melakukan gugatan cerai di Pengadilan Agama dengan menelaah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 yang berkaitan terhadap kewajiban suami akibat perceraian istri, dikaji menggunakan pendekatan maqashid al-shariah Jasser Auda dengan metode yuridis normatif. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan dengan bahan hukum primernya SEMA Nomor 3 Tahun 2018 dan buku maqashid al-shariah Jasser Auda, sementara bahan hukum sekundernya yaitu UU Perkawinan, KHI, buku fiqh munakahat, artikel, jurnal yang berhubungan dengan pembahasan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan SEMA Nomor 3 Tahun 2018 sangat berperan untuk mengisi kekosongan hukum terhadap hal-hal yang belum diatur secara eksplisit dalam UU Perkawinan dan KHI, sehingga dapat memberikan kepastian hukum terkait hukum-hukum secara detail (ahkam tafsiliyyah) berupa pemberian perlindungan hukum dan jaminan atas hak-hak perempuan yang seharusnya dapat diperoleh pasca perceraian sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan dalam rangka memperoleh hak yang sama dihadapan hukum demi terciptanya kemaslahatan secara menyeluruh (maslahah al-ammah).