Shadra mendapat julukan yang sangat mengagumkan dalam dunia filsafat Islam. Abdul Kadir Riyadi dalam Arkeologi Tasawufnya, menyatakan Mulla Shadra layak menyandang gelar sebagai guru ketiga dalam tasawuf falsafi setelah Ibn Arabi dan Suhrawardi. Sedangkan menurut M. M. Sharif dalam A History of Muslim Philosophy, memandang sosok Mulla Shadra adalah guru ketiga setelah Ibn Sina dan Suhrawardi.1 Dari nama-nama besar inilah Shadra bisa membuktikan dirinya sebagai tokoh yang perlu diperhitungkan dalam kazanah filsafat Islam. Ibn Sina, Ibn Arabi dan Suhrawardi, melalui ketiga tokoh ini Shadra bisa mengkonstruk nalar filsafatnya. Dalam ranah filsafat Parepatetik yang dibangun dari nalar filsafat Aristotelean, ajaran Ibn Sina (980-1037 M) menjadi pondasi awal Shadra untuk mengkonstruk nalar filsafatnya. Semua persoalan filsafat Shadra berpatokan kepada al-syaikh al-rais, sang guru pertama Ibn Sina. Shadra mengambil pendapat Ibn Sina dalam rangka membentuk nalar filsafat teosofinya secara independen, sebagaimana prioritas wujud dan lemahnya esensi. Tentu Shadra tidak hanya mengambil begitu saja pendapat Ibn Sina, sebagai pemikir yang independen Shadra bersikap objektif dalam mengkritisi dan memodifikasi pandangan Ibn Sina.2 Sebagai filosof yang mandiri Shadra dituntut untuk mengambil sikap secara arif, tidak selalu membebek dengan pendapat Ibn Sina
Copyrights © 2022