Dalam pembatalan perkawinan diwajibkan dalam undang-undang bahwa perkawinan yang terjadi memiliki cacat hukum, namun faktanya terdapat pembatalan pernikahan setelah pernikahan dilangsungkan diketahui yang menjadi wali nikah dari pihak mempelai wanita bukanlah orang tua kandung perempuan dimana wali nikah menyembunyikan identitas asli sebelum menikahkan penggugat karena wali nikah kenyataannya adalah orang tua angkat mempelai wanita, keadaan ini baru diketahui pasca pernikahan berlangsung 6 tahun, namun terdapat kesenjangan hukum dalam fakta persidangan yaitu pada Pasal Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang mengenai perkawinan membatasi waktu diajukannya pembatalan pernikahan yaitu 6 bulan, dan faktanya persidangan sudah melewati batas waktu pembatalan tersebut, penelitian ini hendak membahas mengenai kepastian hukum dari putusan pembatalan perkawinan yang diajukan berdasarkan alasan wali nikah adalah bukan orang tua kandung serta akibat hukum yang ditimbulkan terkait syarat pengajuan gugatan dibatalkannya pernikahan telah melebihi batas waktu. Untuk memperoleh kepastian hukum, baik secara agama, maupun hukum negara, diajukannya pembatalan perkawinan oleh pihak pengantin pria ataupun wanita, seperti yang tertuang dalam Pasal 23 dan Pasal 27 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 71 KHI, namun untuk memperoleh kepastian hukum, dapat juga dilakukan dengan cara mengajukan pembaharuan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Perkawinan dan Akibat hukum yang ditimbulkan terkait pembatalan perkawinan karena dilangsungkan oleh wali nikah yang bukan orang tua kandung tentunya pernikahan tersebut menjadi batal dan dianggap tidak pernah dilangsungkan berdasarkan perkara nomor 1097/PDT.G/2020/PAJT, adalah terjadinya dibatalkannya pernikahan antara pasangan suami istri tersebut, dan pernikahan tersebut dianggap tidak pernah ada.
Copyrights © 2023