Articles
            
            
            
            
            
                            
                    
                        EFEKTIVITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 22/PUU-XV/2017 TENTANG BATAS USIA PERKAWINAN 
                    
                    Hadiati, Mia; 
Syailendra, Moody R; 
Marfungah, Luthfi; 
Ramadhan, Febriansyah; 
Monalisa, Monalisa; 
Gunawan, Anggraeni Sari                    
                     Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 5, No 1 (2021): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni 
                    
                    Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.24912/jmishumsen.v5i1.10097.2021                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
This paper will discuss how the post-judicial decision of the Constitutional Court has a minimum age of marriage for woman and consideration in the values of human rights. This paper aims to provide an understanding to the public that the importance of paying attention to the age of marriage is a form of protection of children’s rights, and as an effort to prevent discrimination against woman. The research method used is a combination of normative legal research and empirical legal research. The research material that will be used in this research includes secondary data and primary data. Primary data were obtained directly from samples / research subjects. While the legal materials for secondary data in this study were obtained from library materials related to the problem. After the verdict of the Constitutional Court at a minimum age is married to a 19-year-old woman in terms of the values of human rights, and this is one form of public awareness and responsibility of the state for the protection and fulfillment of human rights (children’s rights and principles of nondiscrimination) and constitutional rights. This issue further looks at the future impact of child marriage for woman can lead to discriminatory actions against woman related to the issue of legal position between men and women who will directly violate children’s rights. Tulisan ini akan membahas bagaimana pasca-putusan Mahkamah Konstitusi usia minimal menikah bagi perempuan dan pertimbangan dalam nilai-nilai hak asasi manusia. Tulisan ini bertujuan: memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa pentingnya memperhatikan usia menikah sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap hak-hak anak dan sebagai salah satu upaya pencegahan tindakan diskriminasi terhadap perempuan. Metode penelitian yang digunakan yakni perpaduan antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Bahan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder maupun data primer. Data primer diperoleh secara langsung dari sampel/subjek penelitian. Sedangkan bahan hukum data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan permasalahan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pasca-putusan Mahkamah Konstitusi usia minimal menikah bagi perempuan 19 (sembilan belas) tahun menunjukan sangat sarat dengan pertimbangan nilai-nilai hak asasi manusia, dan ini merupakan salah satu bentuk kesadaran masyarakat dan tanggung jawab negara atas perlindungan dan pemenuhan terhadap hak asasi (hak-hak anak, dan prinsip non diskriminasi) dan hak konstitusi. Persoalan ini lebih jauh melihat kedepan dampak dari perkawinan usia anak bagi perempuan dapat menimbulkan tindakan diskriminasi terhadap perempuan terkait dengan persoalan kedudukan hukum antara laki-laki dan perempuan yang secara langsung akan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak anak.
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        PERAN DESA ADAT DALAM TATA KELOLA LEMBAGA PERKREDITAN (LPD) DI BALI 
                    
                    Hadiati, Mia; 
Julianti, Lis; 
Syailendra, Moody R; 
Marfungah, Luthfi; 
Gunawan, Anggraeni Sari                    
                     Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 5, No 2 (2021): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni 
                    
                    Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.24912/jmishumsen.v5i2.10080.2021                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
LPD as one of the MicroFinance Institutions is very rapidly growing in Bali Province. LPD is said to be the business center of the informal sector. The existence of LPD as a credit institution in the village has been recognized based on customary law. In 2020 LPD in Bali amounted to about 1,433 LPD from a total of 1,485 Indigenous Villages in Bali which more served loans for villagers for various purposes. Therefore, in the management of LPD must be managed properly, correctly, transparency so that there is no misuse of LPD in its management and designation. The research method used in this research is normative-empirical legal research. This research is a blend of normative legal research and empirical legal research. Normative legal research is legal research that uses secondary data, while empirical legal research is legal research that uses primary data.  Based on the results of this pre-study can be concluded the occurrence of criminal acts of corruption committed both the Board and lpd managers cause disputes. Disputes conducted by lpd managers and managers cause conflicts of interest either between the manager with customary karma or between managers and managers both in the duties and functions of their authority. Disputes over customary issues in the Village within the scope of LPD either indicated that cause village losses or violations of applicable laws and regulations are often resolved through national law compared to customary law that applies in an LPD area. LPD sebagai salah satu Lembaga Keuangan Mikro sangatlah berkembang pesat di Provinsi Bali. LPD dikatakan sebagai pusat usaha sektor informal. Eksistensi LPD sebagai lembaga perkreditan di desa telah diakui keberadaannya berdasarkan hukum adat. Tahun 2020 LPD di Bali berjumlah sekitar 1.433 LPD dari total 1.485 Desa Adat di Bali yang lebih banyak melayani pinjaman bagi masyarakat desa untuk berbagai keperluan. Oleh karena itu didalam pengurusan LPD haruslah dikelola dengan baik, benar, transparansi agar tidak terjadi penyalahgunaan LPD di dalam pengelolaan dan peruntukannya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris. Penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang menggunakan data sekunder, sedangkan penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum yang menggunakan data primer.  Berdasarkan hasil pra penelitian ini dapat disimpulkan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan baik itu Pengurus dan pengelola LPD menimbulkan sengketa. Sengketa yang dilakukan oleh Pengurus dan pengelola LPD menimbulkan konflik kepentingan baik antara pengurus dengan karma adat atau antar pengurus dan pengelola baik dalam tugas dan fungsi kewenangannya. Sengketa permasalahan adat di Desa dalam ruang lingkup LPD baik itu terindikasi yang menimbulkan kerugian desa ataupun pelanggaran Peraturan Perundang Undangan yang berlaku seringkali sengketa tersebut diselesaikan melalui hukum Nasional dibandingkan dengan hukum adat yang berlaku di suatu wilayah LPD.
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        LEGALITAS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN PASCA MENINGGALNYA ISTRI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI PENETAPAN NOMOR: 3043/PDT.G/2018/PA.BADG.) 
                    
                    Akmalunnisa, Bunga; 
Hadiati, Mia                    
                     Jurnal Hukum Adigama Vol 4, No 2 (2021): Jurnal Hukum Adigama 
                    
                    Publisher : Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.24912/adigama.v4i2.18020                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
Cancellation of a marriage is a problem that often occurs in society, but it is different if the Cancellation of a marriage is carried out after the death of one of the prospective bride and groom. In this paper, there are problems that will be discussed, how the legality of the determination of the religious court regarding the Cancellation of a marriage after the death of the wife and how the legal consequences of the legality of the determination of the religious court regarding the Cancellation of a marriage after the death of the wife. The method used in this paper is normative juridical. In terms of the validity of the determination of the Cancellation of a marriage after the death of the wife, the marriage can be annulled, if it does not meet the requirements to carry out the marriage and may result in the termination of husband and wife relations and the termination of inheritance rights because the marriage is considered to have never existed. Therefore, Pasal 92 of the KUHPer, not cancellations in the event of a violation. An annulment claim cannot be accepted if the husband and wife have lived together for three consecutive months, since the husband and wife obtained full freedom and since “error in persona†was found.
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        Analisis Terhadap Pengajuan Pembatalan Perkawinan Yang Diajukan Karena Perwalian Yang Tidak Sah Pada Perkara Putusan Nomor 1097/PDT.G/2020/PA.JT 
                    
                    Halim*, David; 
Hadiati, Mia                    
                     JIM: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Vol 8, No 3 (2023): Juni, socio-economics, community law, cultural history and social issues 
                    
                    Publisher : Universitas Syiah Kuala 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.24815/jimps.v8i3.25185                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
Dalam pembatalan perkawinan diwajibkan dalam undang-undang bahwa perkawinan yang terjadi memiliki cacat hukum, namun faktanya terdapat pembatalan pernikahan setelah pernikahan dilangsungkan diketahui yang menjadi wali nikah dari pihak mempelai wanita bukanlah orang tua kandung perempuan dimana wali nikah menyembunyikan identitas asli sebelum menikahkan penggugat karena wali nikah kenyataannya adalah orang tua angkat mempelai wanita, keadaan ini baru diketahui pasca pernikahan berlangsung 6 tahun, namun terdapat kesenjangan hukum dalam fakta persidangan yaitu pada Pasal Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang mengenai perkawinan membatasi waktu diajukannya pembatalan pernikahan yaitu 6 bulan, dan faktanya  persidangan sudah melewati batas waktu pembatalan tersebut, penelitian ini hendak membahas mengenai kepastian hukum dari putusan pembatalan perkawinan yang diajukan berdasarkan alasan wali nikah adalah bukan orang tua kandung serta akibat hukum yang ditimbulkan terkait syarat pengajuan gugatan dibatalkannya pernikahan telah melebihi batas waktu. Untuk memperoleh kepastian hukum, baik secara agama, maupun hukum negara, diajukannya pembatalan perkawinan oleh pihak pengantin pria ataupun wanita, seperti yang tertuang dalam Pasal 23 dan Pasal 27 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 71 KHI, namun untuk memperoleh kepastian hukum, dapat juga dilakukan dengan cara mengajukan pembaharuan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Perkawinan dan Akibat hukum yang ditimbulkan terkait pembatalan perkawinan karena dilangsungkan oleh wali nikah yang bukan orang tua kandung tentunya pernikahan tersebut menjadi batal dan dianggap tidak pernah dilangsungkan berdasarkan perkara nomor 1097/PDT.G/2020/PAJT, adalah terjadinya dibatalkannya pernikahan antara pasangan suami istri tersebut, dan pernikahan tersebut dianggap tidak pernah ada. 
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        KONSEKUENSI HUKUM ADAT DAN HUKUM PERDATA: ANALISIS AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN PASCA TELAH DILAKUKANNYA PEMINANGAN 
                    
                    Vanessa Tanamas, Audrelia; 
Hadiati, Mia                    
                     Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 12 No 2 (2024) 
                    
                    Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.24843/KS.2024.v12.i02.p18                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
Tujuan dari penulisan ini untuk menganalisis dan mengidentifikasi keselarasan hukum adat dan hukum perdata dalam memberikan jaminan terhadap terpenuhinya hak korban yang telah dipindang namun batal untuk dikawini terkhususnya pada masyarakat adat Nusak Termanu. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggabungkan metode normatif dan empiris guna menganalisis dan mengidentifikasi keselarasan hukum adat Nusak Termanu dan hukum perdata Indonesia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum dilaksanakannya sebuah perkawinan, terdapat tahapan yang perlu dilewati terlebih dahulu di masyarakat adat Nusak Termanu, yaitu peminangan. Menjadi suatu kewajiban yang diketahui oleh seluruh masyarakat adat bahwa dilakukannya sebuah peminangan haruslah dilanjutkan kepada tahapan perkawinan dan tidaklah boleh dibatalkan. Batalnya perkawinan pasca telah dilakukannya peminangan akan menjadi aib bagi keluarga perempuan yang dipinang dan laki-laki beserta keluarganya akan mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat adat. Kerugian yang diderita oleh pihak perempuan dapat diajukan gugatan ke pengadilan atas dasar perbuatan melawan hukum karena telah melanggar kaidah kesusilaan dan kepatutan di masyarakat. Hakim dalam mengabulkan gugatan kerugian atas dasar hukum adat perlu melakukan harmonisasi hukum adat ke dalam hukum acara positif. The purpose of this paper is to analyze to analyze and identify the harmony of customary law and civil law in providing guarantee of the fulfillment of the rights of victims who have been binded but canceled to marry, especially in the Nusak Termanu customary community. married, especially in the Nusak Termanu indigenous community. This research takes on a qualitative research method, by combining normative and empirical methods to examine the alignment between customary law and civil law to rectify the losses experienced by the party that was proposed but the marriage was canceled. The result of the research shows that before marriage is held, there are preliminary stages that must be passed first in the Nusak Termanu people custom, namely the engagement. It is an obligation known by the entire community that conducting an engagement must be followed by the marriage and cannot be canceled. The cancellation of a marriage after an engagement has taken place would bring shame to the family of the woman who was proposed to, and the man along with his family would face social sanctions from the community. The losses suffered by the woman's party can be filed with a lawsuit in court based on unlawful acts because they have violated the norms of decency and propriety in the community. In granting claims for damages based on customary law, judges need to harmonize and ensure that customary law are consistent with the applicable civil procedure.
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        Analisis Larangan Pencatatan Perkawinan Beda Agama Dalam Sema Nomor 2 Tahun 2023: Sebuah Tinjauan Dari Perspektif Hak Asasi Manusia 
                    
                    Amisah, Amisah; 
Hadiati, Mia                    
                     UNES Law Review Vol. 6 No. 3 (2024): UNES LAW REVIEW (Maret 2024) 
                    
                    Publisher : LPPM Universitas Ekasakti Padang 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.31933/unesrev.v6i3.1846                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
Interfaith marriage are still a hot topic of discussion among Indonesian society, to overcome this problem the Supreme Court (MA) issued SEMA Number 2 of 2023 which contains a prohibition on the Courts not to approve applications for registration of interfaith marriages. This research aims to determine the Human Rights perspective on SEMA Number 2 of 2023, by applying normative juridical methods, and library research as a technique in collecting data. The results of this study show that SEMA Number 2 of 2023 has drawn pros and cons, from a human rights perspective, the prohibition in SEMA Number 2 of 2023 is considered discriminatory and not in line with human rights principles, which ignores the freedom to practice religion and guarantee the protection of marriage rights without religious restrictions as stated in Article 3 paragraph (3) of Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights, Article 28 E paragraph (1) and Article 29 paragraph (2) of the 1945 Constitution, Article 16 paragraph (1) of the Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Article 2 paragraph (1) and Article 23 paragraph (2) of the International Covenant on Civil and Political Rights.
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        Implementation of Dual Citizenship as a Result of Mixed Marriages from a Human Rights Perspective in Indonesia 
                    
                    Aprilia, Indah Siti; 
Hadiati, Mia; 
Januar, Akbar Putra                    
                     AURELIA: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Indonesia Vol 3, No 2 (2024): July 2024 
                    
                    Publisher : CV. Rayyan Dwi Bharata 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.57235/aurelia.v3i2.3475                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
The issue of determining dual citizenship for children from mixed marriages is still often debated as a matter of human rights and also justice for the parties involved. This research uses normative juridical methods. The results of the analysis show that children from mixed marriages have dual citizenship up to the age of 18 with limited registration mechanisms. Ownership of dual citizenship actually needs to be protected by each country. Indonesia itself recognizes dual citizenship up to the age of 18 years plus an extension of the legal period until the age of 21 years. For the protection of human rights, the author recommends that regular socialization and citizenship services be carried out for children from mixed marriages in a thorough and comprehensive manner.
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        Regulatory Dynamics and Socio-Legal Impacts of Interfaith Marriages in Indonesia Post-SEMA Number 2 of 2023 
                    
                    Priscilla Wijaya, Gabrielle; 
Hadiati, Mia                    
                     Jurisprudensi: Jurnal Ilmu Syariah, Perundang-Undangan dan Ekonomi Islam Vol 17 No 1 (2025): Jurisprudensi: Jurnal Ilmu Syariah, Perundang-Undangan dan Ekonomi Islam 
                    
                    Publisher : State of Islamic Institute Langsa 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.32505/jurisprudensi.v17i1.10070                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
Interfaith marriage in Indonesia ideally requires a clear and harmonious legal framework aligned with societal values and religious principles. However, in reality, the absence of explicit regulation in Law Number 1 of 1974 on Marriage has created legal uncertainty and social challenges, particularly prior to the issuance of SEMA Number 2 of 2023. This study aims to analyze the implementation of interfaith marriage regulations, their socio-legal impacts, and efforts to harmonize the legal framework in Indonesia. Using normative legal research methods with a juridical approach, this study is based on library research analysis. The findings reveal that SEMA Number 2 of 2023 has provided a clearer legal framework for the registration of interfaith marriages, although technical challenges persist. Socially, the regulation has shifted societal paradigms, while legally, it has increased legal certainty. Legal harmonization requires an integrated approach that considers legal pluralism, religious values, and the realities of Indonesian society.
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        Sosialisasi Mengenai Perjanjian Kontrak Kerja Dalam Dunia Kerja Bagi Siswa SMKN 15 Kota Bandung 
                    
                    Hadiati, Mia; 
Putri, Inayah Fasawwa; 
Trixie, Ivana; 
Valencia Alam, Jenice                    
                     RENATA: Jurnal Pengabdian Masyarakat Kita Semua Vol. 3 No. 1 (2025): Renata - April 2025 
                    
                    Publisher : PT Berkah Tematik Mandiri 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.61124/1.renata.96                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan sosialisasi mengenai perjanjian kontrak kerja kepada mahasiswa SMKN 15 Kota Bandung, mengingat pentingnya pemahaman kontrak kerja dalam persiapan memasuki dunia kerja. Di era pembangunan nasional, tantangan ketenagakerjaan semakin meningkat, dengan banyak lulusan SMK yang langsung terjun ke dunia kerja tanpa bekal pengetahuan yang memadai tentang hak dan kewajiban dalam kontrak kerja. Melalui metode penyuluhan, mahasiswa diberikan informasi mengenai komponen penting dalam kontrak kerja, seperti hak dan kewajiban pekerja, durasi kerja, upah, dan jaminan sosial. Kegiatan ini juga menyoroti pentingnya memahami peraturan perundang-undangan yang mengatur ketenagakerjaan, seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dengan pemahaman yang baik mengenai kontrak kerja, diharapkan siswa dapat menetapkan ekspektasi yang jelas dan menghindari pelanggaran yang merugikan di masa depan. Hasil sosialisasi menunjukkan bahwa mahasiswa merasa lebih siap dan percaya diri dalam menghadapi dunia kerja setelah memahami aspek-aspek penting dari perjanjian kontrak kerja. Kegiatan ini menekankan perlunya pendidikan lebih lanjut mengenai ketenagakerjaan di kalangan siswa SMK untuk meningkatkan kesiapan mereka dalam berkarier
                            
                         
                     
                 
                
                            
                    
                        Keabsahan Akta Jual Beli Letter C Yang Diterbitkan Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah 
                    
                    Daniel, Glenn; 
Hadiati, Mia                    
                     JURNAL USM LAW REVIEW Vol. 8 No. 2 (2025): AUGUST 
                    
                    Publisher : Universitas Semarang 
                    
                         Show Abstract
                        | 
                             Download Original
                        
                        | 
                            
                                Original Source
                            
                        
                        | 
                            
                                Check in Google Scholar
                            
                        
                                                                                    
                            | 
                                DOI: 10.26623/julr.v8i2.11820                            
                                            
                    
                        
                            
                            
                                
This study seeks to investigate and acquire insights regarding the legal validity of the sale and purchase deed associated with Letter C and the impact of land erosion on land rights owners. The foundation of this research stems from the transaction involving the deed of sale and purchase of Letter C, carried out by the Land Deed Official, who overlooked the measurement of the Letter C land when transferring rights from one person to another. The significance of this research lies in addressing the issues that arise in various places in the archipelago are increasingly complex and increasingly varied, especially regarding the ownership of land rights with Letter C status, which do not have legal certainty over their ownership rights. This research employs the Normative Juridical approach, which analyzes literature documents and related regulations while emphasizing the duties and permits of PPAT, so that it will provide the right answers regarding land rights problems and literacy to the community regarding land rights ownership. The results of this study explain that Letter C land sale and purchase transactions that are not accompanied by measurements and are not immediately certified have the potential to cause disputes and difficulties in proving land rights because there are legal loopholes, so owners must confirm the validity of ownership of land rights. The novelty of this research lies in the analysis of cases that occurred in Bogor Regency, illustrating the consequences of the incident, so that it can provide a solution so that the Letter C land that is still circulating in the community can immediately change its land rights status to provide security in land ownership.   Penelitian ini bertujuan untuk menggali serta mendapatkan pengetahuan tentang keabsahan akta jual beli Letter C serta dampak dari terkikisnya tanah bagi pemilik hak atas tanah. Dasar penelitian ini berasal dari transaksi akta jual Beli Letter C yang disusun oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tanpa memperhatikan pengukuran tanah Letter C yang dialihkan haknya dari satu individu ke individu lainnya. Urgensi dari penelitian ini adalah permasalahan yang terjadi diberbagai tempat di Nusantara semakin kompleks dan semakin variatif khususnya tentang kepemilikan hak atas tanah yang berstatus Letter C yang tidak mendapatkan kepastian hukum atas hak kepemilikannya. Penelitian ini menerapkan metode Yuridis Normatif dengan menganalisis dokumen literatur dan peraturan yang relevan serta memperjelas tugas dan kewenangan PPAT, sehingga penelitian ini akan memberikan jawaban yang tepat mengenai permasalahan hak atas tanah serta meningkatkan literasi terkait kepemilikan hak atas tanah kepada masyarakat. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan jual beli tanah Letter C yang tidak disertai pengukuran dan tidak segera disertifikatkan berpotensi menyebabkan sengketa serta kesulitan pembuktian hak atas tanah karena terdapat celah hukum, sehingga pemilik harus mempertegas validitas kepemilikan hak atas tanah. Kebaruan dalam penelitian ini dijelaskan dalam analisis dari kasus yang terjadi di Kabupaten Bogor yang menjabarkan dampak dari peristiwa tersebut, sehingga dapat memberikan solusi agar tanah Letter C yang masih beredar dalam masyarakat segera diubah status hak atas tanahnya untuk memberikan keamanan dalam kepemilikan tanah.