Termasuk upaya melakukan pembaharuan dalam agama adalah dengan melakukan ijtihad di dalam pemikiran Islam. Salah satu yang perlu untuk diijtihadi ulang adalah masalah kewarganegaraan. Dalam kitab fikih klasik, klasifikasi warga negara terdiri dari beberapa macam, yaitu; muslim, kafir harbi, kafir z^immi>, kafir mu’a>had dan kafir musta’min. Nahdlatul Ulama dalam Munas dan Konbes tahun 2019 telah melakukan pembahasan dan memutuskan bahwa masyarakat Indonesia yang tidak beragama Islam tidak dikategorikan sebagai kafir yang ada selama ini, akan tetapi disebut sebagai muwa>t}inu>n. Keputusan tersebut telah membuka pemikiran baru terkait status kewarganegaraan yang ada. Namun putusan tersebut juga telah menuai kontroversi karena adanya beberapa penolakan dari seorang tokoh atau kelompok tertentu. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dengan jenis library research. Sedangkan pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi untuk mencari sumber data yang menunjang penelitian ini. Lalu dianalisis dengan menggunakan metode content analysis dan interpretasi terhadap sumber data yang diperoleh. Penelitian ini menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa penetapan status “muwa>t}inu>n” bagi non-muslim dalam Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama tahun 2019 merupakan penafsiran ulang terhadap konsep ketatanegaraan yang dilatarbelakangi perubahan realitas dari bentuk negara yang ada. Rekontruksi tersebut adalah diperbolehkan karena istilah “kafir” yang ada bukan istilah baku dan prinsipil dalam Islam melainkan produk pemikiran ulama yang bisa berubah sesuai dengan kondisinya. Penolakan yang muncul dari tokoh atau kelompok dianggap sebagai penolakan yang tidak pada objeknya. Objek pergantian kata “kafir” yang dimaksudkan NU adalah kata kafir dalam konteks bernegara. Sedangkan yang ditolak oleh mereka adalah kata kafir pada ranah keyakinan yang ada di al-Qur’an yang memang tidak ada ruang untuk ijtihad.
Copyrights © 2023