Tindak pidana tertentu yang bersifat extraordinary seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Justice collaborator dalam perkembangan terkini mendapat perhatian serius, karena peran kunci mereka dalam “membuka” tabir gelap tindak pidana tertentu yang sulit diungkap oleh penegak hukum. Justice collaborator diartikan sebagai saksi pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu atau bekerjasama dengan penegak hukum. Artikel ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normative atau metode penelitian kepustakaan yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengkaji dan meneliti bahan-bahan pustaka berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Kemudian hasil pada artikel ini adalah Pengaturan hukum terhadap kesaksian justice collaborator dalam pengambilan putusan oleh hakim dalam pengungkapan kasus tindak pidana pembunuhan tidak diatur secara khusus pada KUHAP atau Peraturan Perundangan lainnya, namun termuat di dalam beberapa ketentuan dapat dijadikan pedoman yakni Peraturan Perundang-Undangan seperti Pasal 1 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2014 Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006. Kemudian Butir 9 huruf a SEMA No. 4 Tahun 2011. Serta Pasal 1 ayat (3) Peraturan Bersama antara Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, KAPOLRI, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama namun didalam ketentuan disebutkan belum dapat memberi yurisdiksi secara proporsional, oleh sebabnya kehadiran JC ditanggapi berbeda bagi penegak hukum.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2023