Hingga saat ini, perempuan masih menjadi sang liyan atau kaum nomor dua, termasuk dalam Karawitan Sunda. Dalam Karawitan Sunda terdapat ‘doing gender’, salah satunya yakni juru rebab (pemain rebab) yang dipandang sebagai ‘pekerjaan’ khusus kaum laki-laki, sehingga sangat jarang ditemukan perempuan yang berprofesi sebagai juru rebab. Untuk mendapatkan keadilan dan kesetaraan, resistensi pun dilakukan di lingkungan pendidikan yakni ISBI Bandung untuk menciptakan performa juru rebab perempuan dalam Karawitan Sunda yang setara dengan juru rebab laki-laki. Penelitian ini berjenis kualitatif dengan data yang didapatkan melalui observasi, wawancara, dan studi pustaka, yang kemudian dibedah menggunakan teori performativitas Judith Butler.
Copyrights © 2020