Gula merah di Indonesia umumnya terbuat dari air aren, namun seiring berkurangnya pasokan air aren, para pengolah beralih ke gula pasir sebagai bahan baku. Keberagaman gula merah di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi alam dan bahan baku lokal, seperti yang terlihat di Kabupaten Agam, di mana masyarakat menggunakan air tebu dan menyebutnya "saka". Gula merah telah dikenal sebagai pemanis alternatif yang memiliki variasi dalam penampilan dan sifat fisik, termasuk warna, kadar abu, dan kekerasan. Keragaman ini disebabkan oleh teknologi pengolahan yang rendah dan konsistensi proses yang tradisional. Di Kabupaten Agam, meskipun sektor gula merah tetap menjadi mata pencaharian yang menjanjikan, tantangan muncul karena banyak pekerja berusia lanjut dan generasi muda lebih memilih pekerjaan di luar kota. Produksi “saka” dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan tenaga hewan, yang membutuhkan waktu 6-8 jam per produksi. Selain itu, serangan hama seperti kera dan babi hutan serta cuaca buruk dapat mengganggu pertumbuhan tebu. Dengan menggunakan teori Perubahan Sosial, Teori Hubungan Sosial dari dari beberapa Ahli, Teknik untuk menentukan informan yaitu dengan teknik Purposive sampling. Subjek dalam penelitian ini ada 4 orang dan telah menjalani usaha ini selama lebi 10 tahun. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya perubahan sosial seiring berjalannya waktu, dimana usaha tradisional pembuatan Saka telah menjadi pekerjaan yang turun menurun di Nagari Matua Hilia mengalami kemunduran karena faktor-faktor seperti migrasi masyarakta muda yang produktif bekerja dan perubahan pola pikir pendidikan masyarakat yang sudah maju.
Copyrights © 2025