Artikel ini membahas permasalahan politik identitas berbasis agama di Indonesia, yang menjadi isu penting dalam konteks dinamika demokrasi modern. Fokus utama penelitian adalah bagaimana simbol-simbol agama digunakan dalam kampanye politik untuk menarik dukungan publik, serta dampaknya terhadap kohesi sosial dan kualitas demokrasi. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan analisis literatur, mengadopsi teori habitus dari Pierre Bourdieu dan dramaturgi Erving Goffman untuk memahami interaksi antara simbol agama dan praktik politik. Hasil temuan menunjukkan bahwa meskipun politik identitas berbasis agama dapat meningkatkan partisipasi politik dan solidaritas kelompok, dampak negatifnya juga signifikan. Penggunaan simbol agama sering kali menciptakan polarisasi sosial dan diskriminasi, yang dapat merusak kohesi masyarakat. Sebagai contoh, dalam berbagai pemilu, simbol-simbol agama dimanfaatkan untuk membentuk citra politik yang mengarah pada pembagian masyarakat menjadi "kami" dan "mereka." Oleh karena itu, artikel ini merekomendasikan beberapa langkah strategis. Pertama, pentingnya pendidikan multikultural untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang keberagaman. Kedua, perlu adanya regulasi yang ketat terhadap pemanfaatan simbol agama dalam politik untuk mencegah eksploitasi yang berlebihan. Ketiga, penguatan dialog antar-komunitas sangat diperlukan untuk membangun saling pengertian dan toleransi. Melalui pendekatan ini, diharapkan politik berbasis identitas dapat sejalan dengan nilai-nilai demokrasi yang inklusif dan berkeadilan, serta menjaga harmoni sosial dan integrasi nasional di tengah keberagaman masyarakat Indonesia.
Copyrights © 2024